Ungkapan Mutiara

Kita seperti teko, apa yang dikeluarkan maka seperti itulah di dalamnya. Maka berjanjilah untuk selalu membahagiakan orang lain, karena dengan begitu kita membahagiakan hidup kita sendiri (Rosa Rahmania))

Memberi sebanyak yang kita mampu, lalu kita akan menerima sebanyak yang kita butuhkan! InsyaAllah(Luluk Evi Syukur)

Ide-ide gila, butuh orang gila juga untuk mewujudkan semuanya. Demi bumi dan isinyam, baiklah. (Ana Falasthien Tahta Alfina)

Selagi sabar itu ada dalam diri maka selagi itu juga Allah akan mengujinya dan hanya mereka yang benar-benar sabar dapat dengan mudah mengatasi ujianNya (Luluk Evi Syukur)

Selepas ashar nanti Kutunggu di semenanjung hati, mendawai indahnya pelita, kala pelangi berbagi warna, selepas maghrib nanti, Kutunggu di ujung nadi, lantunkan kalam Illahi, hingga Isya hadir kembali (Khasanah Roudhatul Jannah)

Kawan, ingatlah dengan hidup ini, kadang kesusahan dalam mengarungi takdir membuat hidup kita di akhirat nanti menjadi lebih berkualitas. Dan Jangan lah berlebihan di kehidupan ini, karena takut-takut terasa hambar di akhirat nanti. So, Jadikanlah apapun itu tentang kehidupan, lalu rayakanlah dengan kesyukuran.(Adi Nurseha)

Memoar kehidupan yang tak berujung hingga kematian menjemput. Lantas sudah sampai di mana kisah kehidupan ditorehkan? (Luluk Evi Syukur)

Kau yang masih setia mengulum rindu, Kudendangkan senandung lagu merdu, Sebagai pengobat rindu di dada, Sebagai pelipur segala lara, Tersenyumlah sayang, Rindu ini pun masih terus membayang Untukmu duhai kekasih hati Sambutlah syahdunya nyanyian hati (Khasanah Roudhatul Jannah)

Jaga selalu hatimu (Rosa Rahmania)

Tak semua yang diinginkan dapat terwujud sesuai rencana. Pergi saat indah. Allah pasti punya rencana terindah dibalik semua ini. Hanya itu yang bisa menguatkanku saat ini (Yopi Megasari)

Kamis, 31 Maret 2011

Pak RW adalah Ayat KauniyahMu Tuhan


Ini adalah sebuah aksi, revolusi harga mati, demontrasi membabi buta, perang urat syaraf, adu jotos, dan bahkan perang militer. Dan ini pula sebuah rasa, teriakan, histeris, mencekam, naik pitam, murka, kalut, dan ketidakpercayaan. Itulah Kawan fenomena terkini tentang bumi tercinta kita, bumi yang katanya penduduknya selalu mengusung perdamaian dan ketenangan. Namun gonjang-ganjing kerusuhan semakin menguap bagaikan para predator yang kelaparan mencari mangsanya. Coba kita mengintip sejenak tentang revolusi di Timur Tengah, Sudan, Mesir, Tunisia, Yaman, dan yang paling menghebohkan serta menegangkan layaknya melihat perang dunia ke II yakni apa yang terjadi di Libya.

Sudah tau kah kawan!, berapa juta manusia yang terpaksa meninggalkan kewajibannya sebagai seorang ayah, ibu, anak, dan pelajar demi meruntuhkan sang penguasa yang zalim. Berapa ribu orang yang terkapar mati dan tertunduk luka demi menggoyangkan sang pemimpin yang tidak adil. Dan berapa ratus orang yang baik, yang terpaksa bingung harus bersikap apa melihat fenomena lucu tersebut. Ah, jika dikalkulasi sudah banyak yang dirugikan dengan kehadiran satu manusia, yakni Pamimpin Zalim.

Apa yang terjadi? Apakah krisis kepercayaan kepada pemimpin yang melanda di bumi manusia ini? Bukan hanya terjadi di pemerintahan sebuah Negara, bahkan sebuah organisasi yang di bawah pemerintahan pun sampai-sampai terjadi demikian. Contohnya saja baru-baru ini revolusi Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI). Aku sebagai pecinta sepakbola nasional merasa heran dengan kejadian tersebut, dan merasa khawatir akan imbas terburuk bagi perkembangan sepakbola Indonesia ke depannya. Lihatlah Nurdin Halid dan para kroninya sepertinya ingin menguasai tahtanya dan enggan meletakan jabatannya, padahal hanya seorang ketua PSSI, bukan Presiden, heran!.

Coba bayangkan, pada zaman dahulu pemimpin adalah jabatan yang ditakuti oleh semua orang, mereka takut akan ketidakamanahannya sebagai pemimpin, bahkan mereka takut bila ada rakyatnya yang kelaparan di ujung desa yang luput dari penglihatannya, sehingga menjadi pemimpin adalah pekerjaan yang sangat sulit, apalagi jika musim berperang tiba, maka pemimpin lah yang terdepan dibarisan pasukan. Namun, tahta pemimpin sekarang sudah menjadi bidadari cantik yang semua orang ingin meminangnya, diperebutkan, bahkan dengan segala cara ia akan dilakukan demi mendapatkan sang bidadari. Bahkan, jika sudah meminang bidadari cantik tersebut maka ia enggan mentalaqnya untuk diserahkan kepada orang lain, padahal sang pemimpin tersebut hanyalah nikah mut’ah, yang terbatas waktunya, maka jangan heran bila adu jotos, kecurangan, money politic, saling hasud, saling menjatuhkan, bahkan genjatan senjata terjadi di mana-mana. Wahai pemimpin yang adil, seharusnya berikan kesempatan kepada orang lain, kepada generasi muda yang memiliki potensi diri untuk mengembangbiakkan bidadari cantik sehingga menjadi kedamaian bagi semua makhluk.

Aku jadi teringat kisah dalam perjalanan kehidupanku. Aku pernah bertemu dengan pemimpin-pemimpin yang hebat di kampungku ini. Salah satunya sebut saja namanya bapak H. Nurossin NH. tapi sering dipanggil Pak Ade atau pak RW, beda-beda tipis dengan namaku (hehehe). Beliau adalah ketua Rukun Warga (RW) di kampungku. Sebelumnya aku tak mengenalnya sama sekali, maklum sudah hampir lebih dari 7 tahun aku meninggalkan kampung halamanku demi memulung ilmu di negri para sihir itu. Aku mulai mengenalnya ketika aku hendak mengadakan sebuah acara Maulid Nabi Besar Muhammad Saw. yang diisi dengan perlombaan tingkat kelurahan dengan judul PRIMA Competition 2011.

Seperti acara-acara keagamaan lainnya, acara Maulid yang akan kuagendakan dengan remaja mushalla ini juga butuh biaya yang tidak sedikit. Sehingga aku dan para remaja lainnya berusaha memeras keringat untuk memohon sumbangan dana ke warga sekitar. Alhamdulillah, dari anggaran yang kita tentukan sekitar 7 juta, bisa terkumpul kurang lebih 4 juta. Walaupun baru terkumpul setengahnya, namun kami optimis mampu mengadakan dua agenda besar itu (Maulid dan perlombaan).

“Assalamualaikum” suara halus membelenggu telingaku, sopan dan penuh dengan ketawadhu’an.

“Waalaikum salam” sahutku, kuingin mengimbangi salam yang penuh keseponan itu dengan jawaban yang lembut pula walaupun tidak sesempurna kelembutan salamnya
Asing wajahnya bagiku. Berpakaian rapih ala orang kantoran, namun tanpa dasi. Warna kuning kemejanya cocok dengan paras wajahnya yang rupawan. Peci yang dikenakan pun tampak seimbang. Tak ada kekurangan yang kulihat. Malah ada kelebihan-kelebihan terutama tentang akhlaknya. Beliau datang secara tiba-tiba ketika aku sedang berbincang-bincang dengan remaja yang lainnya di mushalla mungilku.

“Ust, kenalin, ini adalah ketua RW kita, yang sering saya certain ke ustadz” ujar Ustadz Edi Hamdi, ketua panitia peringatan Maulid dengan sambil memandang ke arahku.

“Oh…iya Pak RW” jawabku seadanya dengan seutas senyum yang menganga di kedua bibirku, jujur ketika itu aku grogi. Bukan apa-apa, memandang wajahnya seperti air yang bersih dan tenang. Tanpa ada raut wajah seorang yang penuh ambisi dan rakus. Yang ada hanyalah aku merasa adem dan nyaman berada di sampingnya. Tatapan matanya pun sungguh membuatku ta’zim kepadanya. Walaupun aku belum menganalnya secara mendalam, namun ketika kumelihatnya seakan aku sudah mengenalnya puluhan tahun yang lalu.

Kami pun mengobrol dengan cantik di mushala mungilku itu. Berbincang-bincang yang cukup lama. Menganai siapa ketua RW sesungguhnya dan juga mengenai persiapan maulid Nabi yang akan kami adakan.

“Saya amat bangga dengan para remaja di mushalla ini yang sangat bersemangat dalam membuat acara semacam ini” ujarnya diplomatis dihadapan para remaja yang kebanyakan masih sekolah SMP dan SMA. Tampak teman-teman remaja menyimak orasi pak RW dengan kerutan dahi dan tatapan mata yang tajam tanda mereka sangat memperhatikan. Entah apa yang membuat mereka terhipnotis dengan ucapannya. Padahal menurutku kata-katanya biasa saja dan sering didengar. Namun ada kewibawaan yang timbul dari setiap petikan katanya, suara yang terlontar lembut seperti sutra yang cantik, tak terlihat kesombongan yang menganga di parasnya, malah yang ada hanyalah sebuah kerendahhatian yang menari-nari di pelupuk matanya.

“Nanti, kalau ada kekurangan dan kebutuhan yang belum terpenuhi, bilang saja ya sama saya, insya Allah saya akan membantu semampunya” lanjutnya, perhatiannya membuat kami tenang. Didukung oleh pemerintahan bukanlah hal yang mudah. Contohnya saja ketika kumengirim proposal ke Pak Kepala Desa dan bertemu dengan kepala desa. Aku ingin meminta bantuan soal piala perlombaan, namun aku sudah disekakmat dengan kata-katanya yang serasa diplomatis.

“Sudah kalian sebar dulu undangan perlombaannya, nanti klo memang responnya banyak, insya Allah akan saya bantu” janjinya ketika itu. Namun apa yang terjadi, ketika undangan sudah disebar, dan respon pun begitu positif, aku pun menagih janjinya. Dan ketika aku datang di kantornya, tanpa basa-basi ia menyodorkan sebuah amplop putih yang berisi lembaran uang kertas yang tak bisa kumenerowong ada berapa isinya. Aku pun tanpa diberi kesempatan untuk berbicara dengannya, semua perbincangan dikuasai olehnya. Aku yang hanya rakyat biasa ingin menagih janjinya, namun mungkin pak kepala desa sibuk sehingga tak memberi kesempatan kepadaku untuk berdialog secara intensif. Alhamdulillah, walaupun tak sesuai dengan janjinya, namun sumbangan itu patut aku syukuri.

Tanggal 20 maret menghiasi kalender laptopku. Acara maulid pun di mulai, diiringi dengan suara kembang api yang menggema di langit-langit membuat terkaget-kaget sekawanan semut dan kumbang. Alhamdulillah, acara maulid pun berjalan, dan pak RW lah yang membantu semua kekurangan dana yang kami butuhkan. Ketika pak RW memberi sambutan di acara maulid, kata-kata yang paling kukenang selamanya adalah:

“Bapak-bapak dan Ibu-ibu, maafkan saya jika selama saya menjabat sebagai ketua RW masih banyak kekurangan di sana-sini. Belum maksimal dalam memperhatikan ibu-ibu dan bapak-bapak. Saya takut dengan jabatan ini pak, saya merasa belum bisa amanah dalam menjalankan roda ketua RW ini. Apalagi kesibukan saya sebagai pedagang cabai membuat perhatian saya kepada ibu-ibu dan bapak-bapak sedikit tersita, sekali lagi saya mohon maaf sebesar-besarnya”

Subhanallah, tiap helaan kata-katanya membuatku tersentak. Adakah pemimpin yang sepertia beliau sekarang ini? Padahal yang kuketahui saat berinteraksi dengannya, beliau adalah pemimpin yang amanah dan perhatian. Bahkan ia menyumbang dana terbesar acaraku dan dananya bersumber dari hasil penjualan cabainya. Ia tak mengambil untung dari kepemimpinannya, namun malah ia berusaha keras untuk mensejahterakan rakyatnya dengan dana pribadi dari usahanya sendiri sebagai penjual cabai.

Kawan, sosok pemimpin adalah idaman bagi semua laki-laki. Lalu, apakah kita sudah siap menjadi pemimpin yang amanah dan adil? Apakah siap kita berkorban demi rakyat? Apakah siap memperhatikan rakyat dengan segala kemampuan yang ada? Alangkah sulitnya bukan? Namun, sebagai laki-laki yang punya selera, sesulit apapun cobaan dan rintangan maka ia akan lalui, oleh karena itu yuk mari kita berbondong-bondong menjadi pemipin yang amanah dan adil, amin.

Malam menghiasi pelupuk mataku. Rasa kantuk yang terasa seakan terhapus dan terbang ke angkasa dengan kesuksesan acara maulid dan perlombaan di mushalla mungilku. Wahai Sang Penggerak jiwa manusia, ayat-ayatMu sungguh indah, membuat hatiku terbirit-birit ketakutan jika mengingkari ayatMu, dan membuatku bahagia ketika kujatuh indah dipelukan ayat-ayatMu. Ya Rabb, Ayat KauniyahMu menakjubkanku, Pak RW lah ayat KauniyahMu, yang menyadarkan diriku untuk bertekuk lutut di mimbarMu sambil melelehkan air mata syahdu karena belum mampu menjadi hamba yang terbaik bagiMu. I love you Tuhan.

Oleh: Adi Nurseha (Profile)

Silahkan Baca Selengkapnya......

Rabu, 30 Maret 2011

Pertualangan Dido (Bagian 1)


Seperti biasa Dido pun lahir kira-kira 24 tahun yang lalu layaknya anak-anak yang lain, tapi satu yang berbeda ketika Dido masuk Sekolah Dasar (SD). Propesi ibunya adalah sebagai ibu rumah tangga sambil mencari sampingan sebagai penjual es dan bapaknya adalah peternak ayam kecil-kecilan.

Setiap kali Dido berangkat sekolah, Dido selalu membawa satu keranjang es dalam termos untuk diletakan di warung sekolahnya. Ketika sekolah usai, Dido pun langsung mengambil termos tersebut sambil menghitung berapa jumlah es yang terjual. Hampir setiap hari ia lakukan.

Setiap hari Dido dibekali uang jajan oleh ibunya 150 rupiah, itu pun terkadang diminta oleh dua kerabatnya. Jadi Dido hanya memegang uang 50 rupiah setiap harinya.

Setelah meranjak kelas 6, Dido mulai merasa malu dan gengsi saat menjual es karena teman-temannya. Tapi melihat adiknya ia pun salut, yang mana setiap hari sebelum berangkat sekolah ia harus mengantarkan termos es ke warung-warung terlebih dahulu.

Setelah lulus SD, Dido ingin sekali masuk pesantren, namanya Perantrern Khusnul Khatimah Kuningan, berhubung persyaratan masuk pesantren tersebut. harus dengan biaya sapi. Ia pun tidak jadi masuk, dikarenakan orang tuanya tidak memiki biaya untuk itu.

Dido akhirnya masuk Sekolah Menengah Pertama (SMP), satu dua tahun berjalan dengan lancar, tapi ketika mulai memasuki kelas 3 terjadi tawuran yang bermula dari sebuah hiburan, lalu terjadi perkelahian hingga mengakibatkan tawuran antar desa.

Setelah kejadian itu, kendaraan tidak lagi masuk ke desa, sehingga Dido dan teman-teman harus berjalan ke sebuah perkampungan lain untuk mendapatkan kendaraan. Dido dan teman-teman harus berjalan pulang-pergi 2 sampai 3 kilo meter setiap harinya. Di samping kendarannya yang jarang ia pun harus siap untuk berdesak-desakan, terkadang bergelantungan, kadang pula di atas kendaraan.

Suatu hari, Dido dan teman-teman menunggu kendaraan yang tak kunjung datang juga, saat itu jam mulai menunjukan pukul 4 sore, cuaca pun mulai gelap bertanda akan turun hujan. akhirnya Dido dan teman-teman memutuskan untuk berjalan kaki memotong jalan dengan menerobos perkampungan, pesawahan, sungai, pemakaman, dan terakhir hutan-hutan kecil.

Setelah melewati Perkampungan cuaca mulai redup, di saat Dido dan teman-teman memasuki pemakaman hujan pun turun, mereka terjebak dalam kondisi rasa takut, kedinginan dan hari yang mulai semakin gelap. Sedangkan mereka harus melewati hutan kecil, sungai dan satu pesawahan lagi.

Singkat cerita, mereka terus berjalan menulusuri pesawahan, sungai-sungai dan yang terakhir harus menembus hutan, entah jam berarapa saat itu, tapi yang pasti kumandang adzan Maghrib sudah berlalu kira-kira setengah jam yang lalu.

Mereka terus berjalan menelusuri semak-semak belukar, dengan rasa kedinginan, gelap dan hujan yang terus menguyur. Dan pada akhirnya mereka pun sampai di rumahnya masing-masing tepat saat adzan Isya dikumandangkan.

Begitu juga dengan Dido, ketika sampai di rumah, ibunya menatap sejenak dan langsung menangis karena melihat anaknya yang basah dan menggigil kedinginan. Tapi dengan begitu dido pun bisa pulang dengan selamat walau harus melewati beberapa rintangan.

[Cr.280311]
Oleh: Didi Suardi (Profile)

Silahkan Baca Selengkapnya......

Data Diri Didi Suardi


Nama
Didi Suardi

Jabatan Website
Penulis

TTL
Majalengka , 11 april 1987

Alamat Indonesia
Blok. Kadusari, Ds. Sedaraja, Kec. Cingambul, Kab. Majalengka, Jawa Barat

Email
dido_jabar@yahoo.com

Status
Pelajar

Alamat Facebook
http://www.facebook.com/didojabar

Pengalaman Organisasi
Kru buletin informatika – Mesir (2010)

Silahkan Baca Selengkapnya......

Selasa, 29 Maret 2011

Nak Kau Menginspirasiku


Pagi itu
Dengan baju hitam persis pelayat yang lagi berduka
Melangkah tanpa niat
Bersimpuh di meja menunggu 6 bocah
Para cundi-cundi negri ini
Syafa sang periang
Shanis putri cerdas
Arin si penyamangat
Jihan anak pintar
Husnul siswa pemalu
Emil sang baik hati
Satu persatu menghampiri tanganku lalu menciumnya dengan takzdim
Selanjutnya
Sang penginspirasi muncul dengan tubuh tegapnya sambil terseyum
"Bunda guru, Nafis mau sekolah"
Yah . . .
Anak baruku
Ahlan wasahlan näk

*Untuk semua pendidik. Berbanggalah karena kita orang terpilih untuk menuntun mereka yg ingin hidup dengan pikirannya. Terimalah mereka yang ingin belajar tanpa syarat apapun dan jangan tunda ajakan mereka hingga nanti apalagi besok.

Oleh: Luluk Evi Syukur (Profile)

Silahkan Baca Selengkapnya......

Senin, 28 Maret 2011

Buanglah Aku pada Tempatnya


We are so proud having brother like you, although now you different, we still keep our smile for you. Yang kutau dulu senyum dan semangat itu selalu hadir, dan kalaupun semua itu kini tertelan bumi, ada kami semua yang siap selalu bersamamu. Hati kita selalu menyatu, sepenggal puisi Rosa untuk sahabat. Sederhana namun syarat makna. Atau Rosa yang lebay kali ya. hehehe. Tapi aku tetap setuju kita ber-enam bukan disatukan oleh misi materi, tapi kebersamaan dalam ikatan tanpa paksaan.Tidak adil rasanya jika kami hanya ada saat kau bertahta, saat kau berbagi tawa, saat kau penuh puji-puja, dan kami bukan pecundang yang akan menghilang saat salah satu di antara kita gamang, jika situasi itu ada padaku? banggakah aku jika semua hilang satu-satu, menutup mata dan telinga dengan sejuta pura-pura sampai menunggu kembali ceria dengan tanya?

"Eh maaf kemarin gw sibuk?" Jiah basi, klasik, memang sehari dia gak makan siang atau malam, jika dia sahabat sejati, dia pasti selalu punya celah dan waktu, selepas shalat misalnya, sekali SMS tidak menyita 1 jam kan? paling ngadat kirim Callme, persahabatan ikhlas itu indah, kebersamaan adalah kekuatan baru, bukalah hatimu, diam tak selamanya emas?

Yes, ada yang rela jadi tempat sampah, lagi-lagi Rosa beri inspirasi di sini, dilanjutkan dengan obrolan ringan dan berujung tantangan. Ya, itulah persahabatan, selalu ada cerita dalam kebersamaan, benarkah aku mau jadi tempat sampah buat sahabatku? terhinakah aku dijadikan tempat sampah sahabatku? ah tentu saja tidak, bukankah persahabatan tidak mengenal perhitungan laba-rugi? tidak pernah bertanya kau jadi apa, biarlah keempatnya menempatkan diri di tempat terpandang dan penuh pujian di rumah jiwamu dan aku kebagian jadi tempat sampah di rumahmu, hehehe, kutersenyum, aku pasti menang karena aku jadi pengatur strategi ceritaku ini, "Jadi suka suka gw dunk cari celah, hehehe..."

Jadi tempat sampah? keputusan yang bebal dan fatal, anehnya tak kurasakan sesal, seakan kutersadar, betapa nekadnya aku. Benarkah aku bisa begitu? gimana lagi? Evi sudah jadi bunga di taman, Ana sudah jadi patung porselen di ruang tamu, Rosa sudah pula jadi lukisan di ruang makanmu, sementara Yopi meminta jadi mutiara, berlian atau mobil limosin, (ckckck), sementara aku hanya jadi tempat sampah untukmu, pasti terpikir oleh mereka betapa bodohnya aku, "Jangan tertawa kecut gitu sob" akan kukatakan kenapa aku bilang begitu, biar kamu tak lagi cemberut dan bermurung durja, kuhanya ingin kau selalu tersenyum indah.

Kenapa memilih tempat sampah, karena dengan begitu kau selalu bisa miliki aku, tak peduli kau kelak kaya atau miskin, kau akan tetap butuh aku saat kau beruntung, kau juga takkan mampu mengadaikan dan menjualku saat kau merugi dan buntung, memang siapa yang mau terima gadai tempat sampah? apalagi beli bekas?, hehehe.

Aku akan ada di setiap ruang, saat kau makan sebiji permen pun kau akan mencari aku untuk menampung sisa bungkusnya, tiap waktu aku akan selalu ikut merasakan tiap makna yang kau cerna, lukisan megah Rosa di ruang makan hanya bisa memandang iri tiap kali kau beri sebuah sisa untukku, dan aku tidak akan takut penuh, karena kau akan segera mengosaongkan aku saat kau butuh, hingga aku selalu dapatkan yang baru dan beragam darimu. Achh betapa kau tak sadar sob, kau buat aku merasa istimewa.

Saat kuterima tantangan jadi tempat sampahmu, karena aku tau dengan begitu, ketika kau begitu semangat kau lakukan banyak hal, maka akan semakin banyak hal yang tidak penting yang kau titipkan padaku, saat kau susah, merasa serba salah, merasa gagal, dan kau tumpahkan pada kertas yang sesaat pasti akan kau serahkan padaku tanpa ragu, mungkin kau duga aku tak paham semua, tak mengapa, lebih baik kau tak usah tau, betapa aku membaca dan pahami tiap jejak rasa dan pikirmu, kau takkan mampu sembunyikan dari ikhlasku..

Biarlah yang kotor dan terbuang kau serahkan padaku sobat, hingga ada bersih dan mamfaat padamu, dengan rela akan kudekap tiap sisa-sisa rasa dan serpih perihmu yang tersembunyi, kenapa begini susah mengurai kisah, kenapa begitu sulit mengait mimpi.

Bergerak tanpa henti menembus gelap dan terang. Tiba-tiba aku tersadar, hidup tanpa masalah adalah bodoh, pohon yang tinggi ternyata mampu bertahan karena kokoh melawan angin, seandainya hidup seperti melewati gurun selain membutuhkan air, ternyata ketabahan jauh lebih di butuhkan, sobat bacalah puisi rosa jika sesak kembali menyapamu, tersenyumlah melihat lukisan dua lelaki empat perempuan membentuk lingkaran, bukankah kosong di tengahnya adalah dunia, jika kita bersatu, kita akan mampu mengurung dunia.

26/03/2011
Setelah baca status puisi "Di Kala Emosi Meledak Hebat", dan sebuah comment "Yes ada yang rela jadi tempat sampah" hehehe

Oleh: Muslimin (Profile)

Silahkan Baca Selengkapnya......

Minggu, 27 Maret 2011

Nanda dan Manda sebagai Peringatan Untukku


Suara adzan maghrib menggema, menelusuri setiap pelosok bumi, dengan nada suara yang berbeda-beda, ada nada suaranya seperti terpelintir lelah, ada pula nada suaranya seperti keroncong khas Sunda, dan ada pula nada suaranya seperti adzan Mekkah. Namun satu hal yang pasti yaitu lafaz yang diucapkan sama, mentauhidkan Tuhan, mencintai Rasul, mengajak kebaikan dan bersama-sama meraih kemenangan. Ya Tuhan sungguh indahnya Islam, ah seandainya Islam adalah sosok wanita, mungkin aku hanya bisa terbelalak dengan mata yang hampir lepas dan mulut menganga lebar tanpa henti, kemudian dalam hatiku bergema, subhanallah indahnya wanita ini. Khayalan yang basi menurutku, namun sebagai seorang pemuda, khayalan seperti itu sangat cocok bagiku.

Sorban hijau yang dihiasi dengan corak emas kutautkan di antara leherku, minyak maskulin jelly kuusapkan keseluruh bagian baju, peci yang tergeletak di meja belajar ingin segera digendong di atas kepalaku. Adzan maghrib itu sungguh aduhai mampu menarik hatiku untuk menghampiri mushalla. Ajakan yang tak bisa kuganggu gugat, dan ajakan yang sulit untuk ditolak, apalagi untuk bertemu Sang Maha Cinta, Allah. Kuhempaskan kakiku pelan-pelan, dengan diiringi perasaan yang bahagia. Bismillahi tawakaltu ala Allah, ya Rabb terima kasih masih memberiku kesempatan untuk bisa shalat berjamaah di mushalla mungilku itu dengan dua pasang kaki yang masih kuat tegar, padahal banyak saudara-saudaraku yang seiman harus menggugurkan niatnya untuk memakan jamuan shalat berjamaah dikarenakan kedua kakinya lumpuh dan lepra tak berdaya. Lalu untuk apalagi hidupku ini selain untuk bersyukur kepadaMu.

Langkah demi langkah ketelusuri, kumelihat anak-anak kecil berpakain rapih disertai peci yang lucu berlari-lari menuju mushalla, para ibu-ibu sedang sibuk merapihkan sejadahnya di pelataran mushalla dan memakai meukena yang putih indah, dan pelantun shalawat bershalawat sambil menunggu waktu iqamah datang. Indahnya suasana ini, ini Indonesia Kawan. Dua tahun kutinggalkan Indonesia, dan sekarang kubisa menghirup bau wangi lantai mushalla mungilku lagi di Indonesia dengan tersenyum. Aku benar-benar rindu, dan amat rindu bahkan.

Sesampainya di mushalla dengan suasana yang terang bersinar karena lampu yang menghiasinya, walaupun di luar sana senja mulai memudar berganti dengan kegelapan malam. Aku teringat pepatah orang tua dulu untuk anak-anaknya yang masih kecil, “Nak, jangan keluyuran ketika senja memudar, nanti di makan gandaruwo loh!”. Pepatah yang menakut-nakuti, namun menurutku pepatah itu serat makna, apalagi jika kita maknai agar si anak mau mengaji dan belajar, bahkan jika sampai-sampai mengaji bersama di mushalla atau masjid terdekat.

Benar saja dugaanku, di barisan terdepan tepatnya pojok kanan mushalla kumelihat seorang anak kecil berumur dua tahun sedang duduk khusu. Aku tak melihat jelas siapa dia, maklum aku baru menginjakkan kakiku di mushalla ini lagi. Kumelihat cara duduknya bukan seperti anak kecil seusianya, lebih persisnya seperti orang dewasa yang mengerti betul tentang adab sopan santun di mushalla. Dengan duduk bersila, matanya menerawang ke tembok, jari telunjuknya sedang digigit ke mulutnya, apalagi peci warna birunya miring berat ke sebelah kiri. Namun semua itu tidak membuatku kehilangan rasa takjub, malah aku menyalutkan ini terjadi, bahkan aku merasa heran dengannya, bayangkan anak sekecil itu sudah berlaku seperti orang dewasa yang siap untuk berjamaah shalat maghrib di mushalla mungilku.

Nanda namanya, kuberkenalan dengannya seusai shalat. Ia tampak lugu dan pendiam. Apalagi mungkin aku masih asing di matanya. Kulihat wajahnya syahdu, mata yang bulat, dan bentuk tubuh yang mungil membuatku terkesima dan ingin menciumnya tanda banggaku padanya.

“Nanda ke sini sama siapa sayang?” kubertanya seperti wartawan yang sedang mewawancarai seorang pahlawan yang besar.

“Sama kakak” jawabnya singkat dengan tangan kanannya menunjuk ke arah seorang wanita yang berusia sekitar enam tahun. Wanita itu sedang merapihkan meukenanya yang berwarna kuning dengan hiasan bunga-bunga cantik. Lalu tiba-tiba wanita itu menengok ke arah kami berdua dengan setangkai senyuman khas wanita kecil.

“Nanda!!! Sini deh” wanita kecil itu memanggil adiknya dengan lambaian tangan. Serta merta Nanda langsung berlari-lari kecil ke arah kakak wanitanya itu.

“Nanda salaman dong sama Aa Adi sana, masa diem aja, ga sopan tau” kakaknya berusaha menasehati sang adik. Nanda pun hanya manggut-manggut dengan jari telunjuk yang masih digigitnya. Rupanya kakaknya sudah tau namaku. Lalu kumendekati mereka berdua. Dan Nanda pun dengan sigap mengulurkan tangannya kepadaku, dan mencium tanganku sebagai rasa hormatnya kepadaku sesuai dengan perintah sang kakak. Dan reflek tangan kiriku mengelus kepalanya sebagai tanda bahwa kuamat sayang padanya.

Manda. Ya itulah nama kakaknya. Terpaut empat tahun membuat mereka berbeda kedewasaan. Nanda berumur 2 tahun yang masih menggigit jari telunjuknya. Dan Manda yang selalu berusaha menasehati adiknya itu walaupun menurutku agak sedikit cerewet untuk anak seusianya. Mungkin ini adalah hasil buah karya orang tuanya yang mendidik anak dengan penuh perhatian sehingga memiliki anak yang luar biasa ini.

Seminggu, sebulan, dua bulan dan seterusnya, kuselalu memperhatikan mereka berdua, Nanda dan Manda. Di kala adzan maghrib menggema, maka kedua anak ini dengan langkah kaki yang semangat menderapkan kakinya menuju mushalla. Nanda dengan peci biru yang miring ke kiri khasnya, dan Manda membawa meukena di tangan kanannya serta tangan kirinya menuntun adiknya yang masih imut dan kecil itu.

Bukan hanya itu, kesalutanku bertambah kepada mereka berdua, di saat air liur udara mulai menetes, udara sejuk kedingin-dinginan merasuk pori-pori tubuh, di ufuk timur terlihat guratan mentari siap menongol, sedangkan atapku sekarang masih gelap gulita, hanya ada suara jangkrik dan kodok di sungai samping rumahku yang membahana. Ya di saat shubuh buta, mereka pun sama seperti waktu maghrib, Nanda dan Manda berduyun-duyun ke mushalla untuk melaksanakan shalat shubuh berjamaah. Padahal, sebagian besar anak seumurnya masih menghembuskan nafasnya di ranjang empuk, dengan kipas angin yang masih menyiulkan anginnya, dan lebih parahnya lagi jika orang tuanya pun mendukungnya dengan mengorok seenak mulut. Namun, mereka berdua tidak, membuka matanya lebar-lebar, membasuh wajahnya dengan air wudhu, dan menderapkan kakinya untuk menuju mushalla yang kurang lebih berjarak 50 meter dari rumah kontrakkannya.

Dan hari ini, mentari sedang menyengat, mencubit para kuli yang membanting tulang untuk menafkahi anak-istrinya. Para pelajar pulang sekolah nampak kehausan ingin minum seteguk air atau berendam di hamparan batu es yang sejuk. Setelah kumengimami shalat dzuhur, nampak Nanda hadir, namun kali ini ia tidak bersama kakaknya, Manda. Kudekati dia.

“Nanda, loh ko sendiri? Mana ka manda?” tanyaku sambil tersenyum simpul kepadanya.

“Ka Manda lagi disuruh ibu ngambil air” jawabnya lugu.

“Lah emang Nanda di suruh ke Mushalla ya ama orang tua?”

“Iya, ummi ama abi yang nyuruh”

Subhanallah, di balik anak yang shalih terdapat ibu dan ayah yang hebat pula. Inilah kawan, sebuah kisah nyata yang membuat kita akan tersentuh. Aku pun ingin menangis bangga melihatnya. Atau aku ingin menangis karena malu kepada diriku ini. Ia berumur 2 tahun, sedangkan aku 22 tahun, namun kebaktian dan kecintaannya kepada Tuhan melebihiku. Terima kasih Tuhanku, kau telah mengirim Nanda dan Manda sebagai peringatan untukku agar aku semakin bersyukur dengan menjalankan ibadah-ibadah sunnahMu terutama ibadah-ibadah wajibMu.

Oleh: Adi Nurseha (Profile)

Silahkan Baca Selengkapnya......

Jumat, 25 Maret 2011

Gerhana atau Purnama


Teruslah menjejak pasir-pasir dalam angkasa lamunan, membumbung, memuncak menanggalkan beban di pundak, mengayuh setinggi-tingginya kesenangan, meramu mimpi di kutub bumi pagi ini. Sesosok bocah masuk saja tanpa salam apalagi permisi, wajah kusamnya jelas terlihat dalam balutan pakaian yang telah memudar warnanya, ada sedikit sobek di bagian bahunya. Bocah perempuan berusia sekitar 3 tahunan. Aku sedang sendiri di ruang tamu rumah bunda setelah tadi sempat berisik oleh keponakan dan teman mainnya yang pergi sejenak setelah kuberikan uang untuk jajan. Mainan rumah-rumahan dan boneka serta masak masakan masih mereka biarkan di sudut ruang, dan anak kecil ini? masih asing, padahal anak-anak tetangga rumah bunda nyaris semua kukenal.

"Siapa dia yang hadir tanpa salam apalagi permisi (hehehe namanya juga anak kecil). Ah mungkin dia salah satu teman main Hesty keponakanku" pikirku dan biarin saja dia mengacak sejenak mainan lalu mengambil sepeda dengan riang terpancar di wajahnya kini. Membunyikan bel sepeda tanpa menganggap aku ada menatap tingkah polahnya. Aku hanya tersenyum dan dia sesaat menatapku asing. "Ini mahluk siapa sih? loe ngapain liat-liat gw?", mungkin itu dalam benak pikirnya. hehehe

Sesaat jeda, purnama di ujung mata memecah buih di angin, melabuhkan segenggam asa dalam bukit-bukit menjulang ke awan, hingga membayang udara dalam tarikan nafas.

"Heiiii! Lusie?" Suara mungil dari depan pintu mengalihkan pandangku sesaat,

"Ni anak-anak pada main masuk aja tanpa salam lagi, hehehe gue jewer juga ntar, untung loe-loe pada anak orang, hehehe jadi gak apa-apalah" Aku maklumi, suara itu kuanggap biasa, tapi hufff, bocah tadi? keceriaannya menguap entah kemana, seperti terdakwa kasus korupsi milyaran, reflek dia turun dari sepeda, wajahnya diselimuti ketakutan, si Nina langsung memeriksa mainan mereka tadi seolah mengecek barangkali ada file yang kehapus,"Ciyee berat ni anak-anak TK,hehehe" Si Nina aku kenal, dia teman sekolah Hesty, anak salah satu tetangga yang kebetulan seusia dengan keponaanku si Hesty.

"Ke mana?" Tanyaku pada Nina.

"Lagi nunggu kembalian Om" Jawabnya tanpa menoleh kepadaku (lagi-lagi aku dicuekin hehehe).

Terdengar langkah ringan, tanpa melihat kupastikan si Hesty datang.

"Assalamualaikuuuuuuum" Suara itu dibarengi tawa khasnya, tangannya dipenuhi snack, sementara matanya langsung tertuju pada Nina kemudian mengalihkan pandangannya kepada bocah yang kini ternyata telah merapat ke dinding, matanya seakan bicara "Om lindungi aku please? hehehe". Akankah si Hesty ikut murka?

"Ty masakan kita di tumpahin Lusie, boneka barbie gak ada?" Anak itu seakan tersadar sontak melepas kedua boneka kecil segenggaman tangan yang langsung dirampas Nina.

"Ihh kau ini pulang kau!!!, si Lusie kalau datang pasti mainanku ada yang hilang" Sungut Hesty.

"Kalau mau main jangan dibawa pulang tanpa bilang pinjam, nanti mainanku kurang terus, dasar pencuri" Sambung Nina lagi. Hah... Aku tersentak, anak-anak ini? dan bocah itu.

"Diajak main Ty kasian dia gak punya mainan" Suara kakak dari ruang tengah.

"Malas ama diakan masih kecil" Jawab Hesty sok tua, padahal hanya bertaut 2 tahun mungkin. Lalu dia menatap ke arahku.

"Si Lusie main sepeda aja" Kataku melerai pertengkaran kecil itu. Akhirnya dia mengambil solusi sendiri, anak itu tanpa ba bi bu, kembali terlihat riang dan langsung naik kembali, aman pikirku sambil beranjak menemui kakak ke ruang tengah, menuntaskan penasaran siapa bocah kecil yang asing di pandanganku.

"Dia anak siapa Kak?" Tanyaku.

"Anak si Edo ,Dek. Tinggal di kampung istrinya"

Edo?, ya aku ingat, sejak SMP aku tak tau kabarnya, pernah terbersit kabar dia menikah dikarenakan kecelakaan, dan dia tinggal di kampung istrinya. Mungkin berapa kali puasa dan lebaran dia gak pulang pulang (Bang Toyib banget hehehe).

"Sekarang mereka sudah pindah ke kampung ini lagi, dengar-dengar ribut sama mertua, si Edo suka main judi, sementara istrinya kerjaannya kayak masih gadis Dek. Itu jadi omongan ibu-ibu sekitar sini. Kerjaannya turun rumah 1 naik rumah 1, ngatain orang ini itu, anak gak diurus, ikut orang noreh gak mau, gengsi, si Edo sekarang nganggur, kadang kasian liat anaknya, kalau liat kawan-kawannya jajan, dia hanya liat aja" Penjelasan kakak lumayan panjang, sebuah pelajaran yang bisa kupetik dari penjelasan kakak.

Cinta, apakah cukup bermodal cinta? Jika ingin berumah tangga? Tradisi di kampung memang terlalu sulit diubah, biasanya orang tua begitu mudah menikahkan anaknya di usia muda? asal ada untuk acara hajatan dan bayar penghulu maka langsung nikah. Pernahkah mereka terbersit pikiran bagaimana kehidupan setelah pernikahan? iya kalau anak mereka terlahir sehat? bagaimana jika anaknya sakit? bagaimana untuk biaya sekolah mereka nantinya?.

Kembali ke ruang tamu. Wajah cerah anak di atas sepeda, dengan nyanyian kecilnya. Ah bocah polos, kau buat aku semakin bertanya. Arus air di danau, kehidupan semakin beriak, sementara aku tau ini akibat pikir yang dangkal, ada apa dengan hidup ini? Masihkah ada tempat untuk harapan yang pulang dengan sesal!. Hai bocah cilik maafkan aku ingin bertanya, gerhana ataukah purnama kelak yang menunggu hari depanmu jika orang tuamu terus begitu?

22/03/201
Oleh: Muslimin (Profile)

Silahkan Baca Selengkapnya......

Kamis, 24 Maret 2011

Di Kala Emosi Meledak Hebat


Emosiku meledak hebat
Diiringi oleh hembusan yang menganga
Letupan hati berjingkrak-jingkrak
Dadaku sesak tak karuan

Ingin rasanya kuteriak setengah mati
Agar lepas semua belenggu yang menyiksa
Apakah itu obat yang mujarab
Atau kubiarkan saja hatiku bermain seperti ini

Andai saja kubisa meramal
Pastilah semua ini tak akan terjadi
Nyatanya ledakan emosiku tak terjaga
Merah, api, dan bergejolak

Aku tau, tak pantas kuberlaku demikian
Aku pun tau, tak sewajarnya kudemikian
Namun, hatiku menyuruh demikian
Dan mulut pun menyetujuinya

Air mata kering nampak dipelipis alis
Berusaha menjebol kejantananku
Aku tak layak menangis
Masih ada seribu otakku yang bekerja

Ya Rabb… apakah betul tindakanku
Ya Rabb… ampuni aku bila salah
Ya Rabb… aku hanya mencoba berusaha
Ya Rabb… kuatkan hatiku yang telah lunglai ini

Kubiarkan sang waktu menuntunku
Dan kucoba pejamkan hati untuk merasa
Agar tak ada lagi yang bergejolak
Sehingga rasa tenang sedikit menyapa

Oleh: Adi Nurseha (Profile)

Silahkan Baca Selengkapnya......

Selasa, 22 Maret 2011

Burung-Burung Kertasku


Kuterbangkang burung kertasku dengan kacamata hatiku, dan kualamatkan rindu ini tepat di jantungmu, sehari atau semalam saja, sebelum hujan mengamuk merapuh dan luluhkan sayapmu. Bacalah dengan mata terpejam sayang, sampai air matamu menjenguk tiba yang tergesa gesa.

Terbanglah burung kertasku, lipat angin badai yang coba halangi kepak sayapmu. Ijinkan aku menikam perasaan, hanya untuk mengekalkan rindu yang mengambang pada sosok nun jauh di sana. Sosok yang kukenal lewat getar dawai hati. Utuh tak utuh sama saja bagiku. Percuma utuh jika bersamanya aku keruh. Sebaliknya lebih berguna jauh jika teduhnya mendamaikan jiwa nelangsaku yang kadang menggigit erat, sampai sesak.

Jika burung kertasku tiba padamu, tolong kau tulis di dinding hatimu. Jika suatu hari kau ingin mencari sosok yang menyayangimu dengan hati, mengasihimu dengan murni, mencintai dengan ketulusan yang dia punya, dalam batas cinta manusia, jangan pernah enggan berbagi rasa denganku di sini, catatlah sayang. Jika tiba dan pergi adalah kesementaraan, yang selalu kita ingat adalah kau anugrah untukku dan aku akan selalu mengindahkan hadirmu.

Rasa yang menautkan aku mengagumi sosokmu, saat sepi disini, mungkin sudah takdirnya, bahagialah bila kita masih punya mimpi. Hidup adalah perjalanan mencari kebahagian. Saat kau lelah kepakan sayap mudamu, lipatlah kertas-kertas bekas sekalipun. Ingatlah hidup hanya sekali, tersenyumlah warnai hati dan hari, masih banyak yang sayangi kita.

Sepi itu serdadu, punya mata panah sendiri. Bening kaca jendela telah menetaskan wajah teduhmu yang hanyut bergelayut di jiwa. Yang harus kau tau, kita adalah bagian yang terpasung dari musim yang tidak pernah kita pinta. Biarkan burung kertas kau dan aku terbang seimbang, di kiri dan kanan sayapnya ada namaku dan juga namamu. Tinggi menukik langit mimpi, terbang rendah untuk berbagi indah,kaulah yang ajarkan gerak kaku ini menjadi cerita.

21/03/2011, 10:46
Inspirasi, sosok asing yang tiba-tiba menggoda jiwa, yang tiba-tiba membayangi setara dengan kekasih yang kumiliki, huff mungkinkah kujatuh cinta lagi. :p

Oleh: Muslimin (Profile)

Silahkan Baca Selengkapnya......

Senin, 21 Maret 2011

Panggung Kecilku Menggemparkan Dunia


Indah menghiasi pelupuk langit, diiringi dengan siulan angin genit. Embun mencoba untuk bertahan di temperatur yang mulai memanas. Sejuknya pagi ini, kuhirup dalam-dalam tanda syukurku pada Tuhan Semesta Alam. Ya Rabb, terima kasih banyak telah memberikan kenikmatan begitu hebat di dalam kehidupan ini. Ayunan mata tertuju dengan lalu-lalang para pejalan kaki. Ibu-ibu tampak asyik dan khusu di gerobak Bapak Karsem yang menyediakan sayur mayur berkelas ekonomis, tampak mulut mereka bergoyang-goyang tanda bernegosiasi tentang harga sayuran yang semakin hari semakin melambung seperti balon udara yang terbang ke atap langit.

Oh iya, terlupa, sang mentari mulai menengok dan mengumbar senyuman kepada seluruh makhluk bumi di balik awan yang mirip sutra. Lihatlah, bunga-bunga kegirangan, semut mulai berteduh kepanasan, dan ikan mulai melongok ke ujung air untuk melihat sang mentari yang anggun. Kuhirup udara pagi dalam-dalam, sambil kugerakan kedua tanganku untuk merenggangkan otot yang semalam hanya beristirahat 3 jam saja dipembaringan. Rasanya segar dan nyaman. Semoga manusia bisa pandai-pandai menjaga lingkungan yang sejuk ini.

Kulangkahkan kakiku menuju mushalla yang mungil, tempat favoritku selain kamar tidur. Di sana sudah siap sebuah panggung kecil yang kuberi nama “Panggung Gembira”. Kuteringat tadi malam, aku dan para remaja mushalla lainnya bahu-membahu membuat panggung ala kadarnya. Panggung itu berdiri dengan tanpa modal, maklum bawahnya kami meminjam sebuah kayu falet buatan orang Madura. Kami meminjam sejenak untuk acara perlombaan yang diadakan di mushalla kami.

Background berwarna biru tua terpampang hebat di atas panggung tersebut, dihiasi dengan tulisan berwarna pink dan hijau “Panggung Gembira PRIMA Competition 2011”. Kulihat background tersebut dengan kasih sayang, sambil kuperhatikan tiap sudutnya. Bismillah, semoga hari ini acara besarku sukses. Ya, acara perlombaan setingkat lurah bukan lah acara yang gampang untuk mempersiapkannya, apalagi aku dan panitia yang lain baru sekali ini mengadakannya. Sehingga agak sedikit canggung dan ruet mengelolanya. Namun, dengan tekad bulat Alhamdulillah sekarang di hadapanku telah berdiri dengan gagahnya sebuah panggung mungil yang dihiasi dengan bunga-bunga yang baru saja kupinjam dari halaman depan rumahku, dan sebuah background berkelas teri yang menawan dengan warna biru tuanya.

Kulihat panitia sibuk mengurusi tugasnya masing-masing. Mas Batuk sibuk mengelola sound system menjadi bergema, Hafiz dan Agus sibuk mempersiapkan tempat untuk daftar ulang dan singgasana juri. Bayu, Yola, dan Iqbal sedang pusing memikirkan Bazar baju Impornya yang dijual dengan harga miring 5.000 rupiah perpotong. Surur dan Aris sedang termengu menanti motor dan sepeda yang akan diparkirkan di halaman Mushalla. Sedangkan aku, sedang asyik mengamati para hamba Allah tersebut yang mendedikasi tenaga dan pikirannya untuk syiar agama Allah di muka bumi ini sambil mencari-cari celah mungkin ada sesuatu yang terlupa.

Akhirnya, acara pun di mulai, dibuka dengan penampilan Marching Band serta kembang api yang diluncurkan ke dinding-dinding udara. Para makhluk Allah tersentak dengan bunyi petasan dan marching band tersebut. Tikus, semut, lintah, lalat, nyamuk, burung, cacing dan lain sebagainya tampak melongo syahdu, begitu pun makhluk Allah yang berakal, segera menyerbu tempat yang di lewati oleh marching band dan kembang api tersebut untuk melihat keunikan acara tersebut.

Setelah acara pembukaan selesai. Sekarang giliran aku sebagai MC yang akan memandu acara perlombaan dari pagi hingga sore ini. Lomba adzan, Musabaqah Hifzil Quran (MHQ), lomba tari islami, dan cerdas cermat akan menghiasi panggung gembiraku. Tampak para peserta lomba yang hadir sumringah, tak ada rasa gentar di hatinya, yang ada hanyalah rasa penasaran ingin menjejakkan kakinya ke panggung gembiraku, padahal mereka baru saja menginjakkan kakinya di Sekolah Dasar (SD). Para peserta pun sedang mempersiapkan penampilannya. Sungguh benar-benar pemandangan yang menakjubkan bagiku, apalagi saat itu aku melihat secara langsung bagaimana keindahan acara tersebut.

“Allahuakbar Allahuakbar…..” adzan menggema hingga 33 kali, karena peserta yang mengikuti lomba adzan tersebut 33 kali. Ada peristiwa yang menarik ketika MHQ, ketika itu salah satu peserta disuruh oleh juri membaca surat At-Takatsur, tapi entah kenapa, lupa atau tidak bisa, maka dengan lantang peserta tersebut membacanya, “At-Takasur, wa ma adrokama takasur…”, sontok para penonton terpingkal-pingkal mendengarnya, rupanya yang dibaca adalah surat baru yang belum pernah ada yang mengarangnya. Seharusnya ia membaca, “Alhakumut takasur, hata jur tumul maqabir….”. Ada-ada saja fenomena tersebut, namun lucu dan menggemaskan para pesertanya. Belum lagi lomba tari islami, wah lomba ini paling seru. Mata yang mengantuk dan terlelap-lelap, ketika lomba ini diadakan langsung segar, bagaikan kucing yang diiming-imingi daging ayam yang lezat.

Satu lagi, lomba yang tidak kalah menariknya adalah lomba cerdas cermat. Lomba ini diperuntukkan untuk santri-santri yang duduk di bangku SMP. Aku yang melihatnya sempat tegang dengan lomba tersebut. Coba bayangkan dari tiga wakil mushalla kami hanya satu yang dapat menembus grand final padahal soal-soal cerdas cermat itu kubuat sendiri namun tidak pernah kubocorkan satu pun kepada orang lain. Ketika grand final berlangsung jantungku pun seperti mau copot, pelupuk mataku menipis, jidatku mengkerut, dan mulutku bergetar melantunkan doa. Aku tau, peserta grand final ini adalah peserta yang terpilih dan tentunya hebat-hebat, apalagi peserta yang berasal dari SMP Rengas Bandung, mereka membuat merinding, di babak penyisihan mereka melahap hampir semua pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan oleh juri, bayangkan mereka di babak penyisihan mendapatkan nilai 1750 point. Sedangkan perwakilan dari mushallaku di babak penyisihan hanya mendapatkan nilai 1000 point. Jauh bukan?.

Grand final cerdas cermat pun di mulai. Pertanyan demi pertanyaan di lontarkan. Hasilnya, perwakilan dari mushalla ku sang juaranya. Dengan skor yang lumayan baik, 900 point untuk perwakilan dari mushallaku. 650 point untuk darul muttaqien, dan 450 point untuk SMP Karya Bakti. Panas dingin yang tadi menjalar sekarang berubah menjadi senyuman bahagia. Kulihat Fara, Dahlia dan Lia yang menjadi sang juara perwakilan dari mushallaku tampak sumringah dan saling berpelukkan. Terlihat amat bahagia dan penuh dengan kelegaan. Selamat kawan, kalian sang juara.

Akhirnya, acara demi acara telah selesai. Aku salut atas kerja keras para panitia. Tanpa lelah dan tanpa gaji mereka berusaha keras untuk menjadikan acara ini sehebat mungkin. Raut wajah mereka keletihan, tapi hati mereka bahagia karena telah menyukseskan acara besar ini. Perut yang kosong pun dilupakan. Sampai-sampai ketika acara selesai kami melahap kue-kue yang tersisa dengan begitu antusias. Terima kasihku kawan, sungguh ini perjuangan syiar islam. Jangan patah semangat. Kita masih banyak acara-acara besar lainnya selain PRIMA Competition 2011 ini.

Senja menghiasi langit, kawalan burung bangau mulai berduyun-duyun pulang ke tempat asalnya yang sedari pagi tadi pergi untuk mencari sesuap ikan. Para domba mulai memasuki apartementnya yang mewah. Langkah kakiku gontai untuk beristirahat. Kumenyalami satu persatu kawanku sembari menepuk pundaknya. Aku bangga dengan kerja kerasnya. Selamat istirahat kawan, besok kita akan menggemparkan dunia dengan acara-acara besar kita yang lainnya.

Kupersembahkan untuk anak-anak Persatuan Remaja Islam Mushalla Ash-Shidiqiyyah (PRIMA) atas kerja kerasnya.
Oleh: Adi Nurseha. (Profile)

Silahkan Baca Selengkapnya......

Minggu, 20 Maret 2011

Tangisan Akhir Februari


Haruskah kubiarkan takdir itu menulisku
Kemanapun ia suka dan kemanapun ia berhenti
Gamang jiwaku
Tulislah aku menjadi, hingga keluar dari kesunyiaan ini

Hujan malam akhir februari
Di atas duka yang sedang ranum
Kutuangkan kemabukan, berharap basuh luka lara bersamanya
Tangisan dalam derai hujan basah
Takkan ada yang tau kecuali aku dan Tuhan

Izinkan Tuhan aku mabuk
Hingga kudapati Kau dalam hilang sadar yang mengambang
Sebab jua aku menunggu berjuta pinta
Tak juga kudengar jawab atas tanyaku

Izinkan Tuhan aku membencimu
Hingga kusadari Kau menjadi sebentuk cinta
Kejarlah aku
Kepada perhentian tanpa upah

Aku lelah Tuhan
Kubiarkan hujan basah kunyupkan ragaku
Alirkan tangis jerit jiwaku
Hilangkan gamang pupuskan resah
Aku tak berdaya tanpaMU yang Maha

Jasad dan ragamu teman
Masih bernyawa dan bernafas
Kuhanya mampu berbagi doa
Tuhan tiada mengantuk dan tiada tidur
Takkan ada pinta sia sia

Betapapun inginku kita bermain di bawah hujan
Seperti masa kecil dulu
Tapi gilas roda waktu tak pernah peduli
Kini kau terbaring lemah tiada daya
Aku bermain sendiri bersama tangisan kepiluan ini
Aku masih sama seperti dulu
Ada mata dan hatiku
Kau tetap teman yang sempat ikut warnai hari kecilku

18/03/2011
Inspirasi menjenguk teman yang terponis lumpuh akibat kecelakaan, dia yatim, ah betapa takdir kadang sulit kutanya adilnya, tapi kuyakin perhitungNya tiada pernah salam, semoga Tuhan beri keajaiban untukmu teman, amien.

Oleh: Muslimin (Profile)

Silahkan Baca Selengkapnya......

Jumat, 18 Maret 2011

Surat Cinta Darimu


Surat cinta pertamaku darimu masih kusimpan rapi di rak bukuku
Surat cinta yang selalu menemaniku sejak kumulai mengenal cinta
Cinta pertama yang membuatku melayang dan hanyut dibuainya

Tahun-tahun pertama saat bunga-bunga cinta masih bermekaran dalam hatiku
Surat cinta darimu selalu kubawa dan kubaca
Kudekap dan kuciumi di sela kurasa lelah

Surat cinta darimu selalu membawaku ke alam ketenangan
Baris demi baris kalimat yang tertulis, semuanya bermakna bagiku
Tak ada kata seindah kata yang tertulis dalam surat cinta darimu

Kau pun tak lupa membiuskan kata-kata mesra di setiap tutur katamu
Kata-kata yang menggugah jiwaku untuk terus mencintaimu
Dan aku tak ingin menggantinya dengan cinta yang lain

Ah apakah ini yang dinamakan cinta?

Tahun-tahun berikutnya..
Entah apa yang membuatku akhir-akhir ini malas bersamamu
Bukan, bukan karena aku tak mencintaimu lagi
Bukan pula karena ku tak lagi menyayangimu

Namun sejak kehadirannya di hidupku
Hidupku menjadi terusik
Kehadiran kesibukan dalam hidupku
Membuatku terkadang tak sempat meluangkan waktu untuk bersamamu walau hanya beberapa menit

Surat cinta dari mupun terkadang lupa kubaca dan kusentuh
Kubiarkan ia tergeletak lemah membisu dengan debu di tubuhnya
Sekalipun kubaca, hanya beberapa kalimat saja

Ah maafkan aku Ibu..
Al Qur’an yang kau berikan beberapa tahun yang lalu
Akhir-akhir ini sering kulupakan
Padahal dulu kau berkata jangan pernah melupakan surat cinta itu
Surat cinta dari Sang Maha Cinta

Akupun terkadang lebih memilih tidur melepas lelah daripada bercengkrama denganmu
Ah kemanakah gairah bercintaku akhir-akhir ini?
Ku tak ingin mengganti cintamu dengan kesibukanku

Akupun tak ingin Dia marah saat ku malas membaca surat cintaNya
Maafkan aku Ibu..
Ampuni aku Ya Allah...
Yang telah mengurangi rasa cintaku padamu dan padaNya

Tiupkan kembali ruh-ruh cinta yang perlahan menghilang tertiup angin kemalasan
Getarkan kembali hatiku dengan cintaMu
Agar kudapat reguk manisnya cinta yang Kau beri.

Oleh: Yopi Megasari (Profile)

Silahkan Baca Selengkapnya......

Kamis, 17 Maret 2011

Ah Anti, Kau Mengiris Hatiku


Hidup mewah tak menjamin segalanya. Tanpa kelengkapan keluarga, semuanya tiada berarti.

Ini bukan kisah anak yang broken home atau anak jalanan, ini hanyalah sebuah kisah nyata tentang perjuangan sebuah keluarga tak utuh yang berusaha berjuang hidup di tengah-tengah ketidakutuhan tersebut. Sebut saja dia Jujang, seorang anak yang baru saja berusia satu tahun setengah yang harus merasakan pahitnya kehidupan tanpa seorang ayah sejak lahir. Kukenali dia dan kakaknya yang bernama Anti di Play Group tempatku mengajar, dan kebetulan Anti adalah anak didikku, sedang Jujang dititipkan di bawah Ruangan tempatku mengajar, di tempat penitipan Bayi.

Anti anak yang cukup cerdas dan dapat dikatakan tak nakal atau tidak badung seperti anak-anak lain yang aktif, yang kadang membuatku pusing dengan tingkah mereka. Setiap pagi ia dan adiknya, Jujang diantar oleh seorang lelaki yang mungkin usianya beberapa tahun diatasku. Sekilas memang tak ada yang istimewa dari mereka, namun bagiku mereka adalah orang-orang yang sangat hebat, LUAR BIASA, terutama ibunya.

Seorang wanita yang harus siap menerima takdir hidupnya membesarkan kelima anaknya tanpa sang suami. Karena sang suami telah lebih dulu dipanggil Allah di saat anak-anaknya masih sangat membutuhkan perhatian lebih dari ayahnya terutama Jujang yang baru saja merasakan hawa panas dunia kala itu. Anak pertama berusia sekitar 20 tahun lebih, anak kedua 12 tahun, anak ketiga 6 tahun, anak keempat 4 tahun, dan anak terakhir baru berusia satu tahun lebih. Ah sungguh Maha Besar Allah, yang telah menjaga dan memberi kekuatan kepada mereka hingga sampai saat ini masih bisa bertahan hidup di tengah-tengah kekejaman dunia. Satu yang kukagumi dari keluarga ini adalah ketegaran dan kekompakkan mereka.

Sebelum Jujang dan Anti bergabung dengan kami, ketika Ibunya mengajar, kakak-kakaknya silih berganti mengasuh Jujang yang masih berusia satu tahun lebih. Termasuk Anti dan kakaknya yang masih berusia 6 tahun. Subhanallah... terkadang kedewasaan bisa timbul sebelum waktunya dengan dihadapkan pada keadaan yang sulit.

Pernah suatu hari saat menunggu penjemputan Anti dan Jujang, Anti berkata padaku.

“Ibu, ibu Anti juga bisa nyanyi lho...”

“Nyanyi apa?”

“ Gini nih... Syukuri apa yang ada, hidup adalah anugerah. Tetap jalani hidup ini, melakukan yang terbaik. Tuhan pasti kan menunjukkan kebesaran dan kuasa-Nya. Bagi hambaNya yang sabar dan tak kenal putus asa...“

Hmm... sebuah lirik lagu D’massive yang sering kudengar, namun entah mengapa saat dinyanyikan Anti membuat hatiku tersayat-sayat. Ada sesuatu yang seperti merobek ulu hatiku. Ah tau dari siapa anak itu lagu tersebut, dan mengapa lagu itu yang diajarkan pada anak seusia dia, padahal seharusnya dia hafal lagu-lagu ceria seperti balonku atau pelangi. Apa mungkin kakak-kakaknya mengajarkan ia untuk jangan menyerah dengan kehidupan seperti judul lagu tersebut.

Hampir setiap hari, di sela-sela proses belajar, lagi-lagi ia bercerita tentang ayahnya padaku dan pada teman-temannya.

“Ayah Anti ganteng, baik lho. Tapi udah meninggal”

Begitulah setiap hari kudengar celotehan polosnya. Tak ada raut kesedihan sdikitpun dari wajahnya. Ya, namanya juga anak-anak. Mungkin yang dalam pikirannya, bahwa ayahnya akan kembali lagi menemaninya. Ah Anti Anti, kau membuat air mataku yang telah lama beku kini mencair dengan lembutnya di pipiku.

Betapa aku harus sangat bersyukur masih memiliki kedua orang tua yang utuh. Di mana saatku merindukan mereka, aku tinggal mencium tangannya. Sedangkan ia, harus mencium nisan ayahnya. Ah Anti, kuyakin ayahmu di sana akan bahagia melihat anak-anaknya tumbuh menjadi anak yang baik sepertimu dan kakak-kakakmu. Ah membuatku tersadar, sudahkah aku memberi yang terbaik untuk ayah dan ibu? Hingga sebesar ini mungkin aku lebih banyak membebani mereka.

Ayah, Ibu tak ingin lagi kubiarkan waktuku terbuang percuma untuk menyakitimu dan mengecewakanmu.

“Jangan bersedih sayang, kau punya Allah. Jangan takut sayang, kaupun masih punya Ibu yang sangat menyayangimu. Jangan resah sayang, qda kakak-kakakmu yang kan melindungimu. Kelak ketika kau besar, jadilah anak kebanggaan ayah dan ibumu”

“Ciptakan kebahagiaanmu dan orang lain dengan tanganmu sendiri, jangan menunggu orang lain mau berbagi kebahagiaan untuk dirimu. Bahagia itu milikmu, dan kamulah yang kan membagikan kebahagiaan itu pada orang lain. Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang mau berikhtiar.”

Oleh: Yopi Megasari (Profile)

Silahkan Baca Selengkapnya......

Rabu, 16 Maret 2011

Kita


Nanti aku akan rindu
barangkali
Nanti aku akan kembali ingat
mungkin

Maka,
aku hanya semampuku bertutur
sampai tidak ada lagi arena
tentang kita yang disebut alam

Maka,
Aku titipkan semuanya
pada langit tempatku belajar memahami
pada benderangnya sabit
pada familiarnya rasi Orion
pada gumpalan Andromeda yang serupa kabut
adalah milikku,

Aku titipkan semuanya
Pada hujan tempatku belajar kuat
pada rintiknya dengan ritme langkah kita
pada rinainya dengan cerita kita
pada kotanya di mana ada aku dan kamu
adalah milikmu,

Aku titipkan semuanya
pada kata tempatku belajar menorehkan
pada jemari yang terus menari
pada karya lewat kilasan paradigma
pada selembar media tempat kita bicara
adalah milikku,

Aku titipkan semuanya
pada Biola tempatku belajar merasakan
pada dawainya yang mengalun nada
pada metode geseknya yang peka
pada alunan musiknya yang selalu aku suka
adalah milikmu,

Hingga tersisa
hanya sketsa langit dan laut
di batas khatuliswa
peraduan tempat kita bertemu
nanti yang terakhir akan aku rindu.

Oleh: Ana Falasthin Tahta Alfina (Profile)

Silahkan Baca Selengkapnya......

Selasa, 15 Maret 2011

Hati Seorang Ibu


Sebut saja nama sahabatku, Roy, Ardy dan Ronald. Roy anak tertua dari empat bersaudara, kebiasaannya main melulu, dia tahan berjam-jam bermain playstation. Sedikit manja, tapi lebih banyak mengalah dan selalu ikut saja jika ada ide dari teman yang lain. Ardy, anak kedua dari tiga bresaudara, sedikit dewasa, hobinya bisnis, walau hanya berjualan ikan teri yang kami kumpulkan bersama, biasanya dia lah yang menjualnya ke kampung pamannya, dengan laba untuk makan bersama-sama, tanpa ada perhitungan modal siapa atau dari siapa. Dan satu lagi adalah Ronald, bungsu dari enam bersaudara, sedikt pendiam, bahkan terkesan angkuh jika belum mengenalnya lebih jauh. Sedikit tertutup sifatnya, tapi setia kawan dan sedikit playboy, mngkin karena fasilitas dan tampangnya yang inocent jadi dia terbiasa diburu oleh wanita, hahaha, dan aku sendiri juga anak bungsu dari empat bersaudara, tidak ada yang istimewa dari sosokku, kecuali sebagai pelengkap ketiga bersaudara di keluargaku.

"Bagaimana kalau kita ke perpustakaan aja, gratis sekaligus nyari bahan, buat tugas, kalau dapat kita pinjam semua masing-masing 1 buku, siapa cepat dia dapat, Roy loe kebagian ngetiknya, Ardy kebagian beli kertas HPS, Ronald kebagian ngeluarin modal, gw kebagian meringkas dan membaca empat buku sekaligus, yang nantinya akan di jadikan 15 makalah, dengan sedikit dibeda-bedakan, biasanya mahasiswa yang tidak mau repot ini dan itu mau membelinya" usulku, serempak senyum mengembang di bibir ketiganya.

"setujuuuuuuu" teriak ketiganya yang membuat sekeliling kami menoleh penuh tanya.

Ini adalah keempat mahluk yang selalu buat onar di kelas, tidak ada yang lain kecuali selalu memamerkan kemesraan seakan dunia milik mereka, hahaha. Masa remaja adalah masa penuh ceria. Aku memang punya banyak kenalan di kelas A sampai D. Lima kelas seangkatan kecuali kelas E yang kebagiaan sore, dikalas itu aku hanya sempat mengenal saat ospek. Aku juga rajin menyapa semua orang, jadi otomatis aku lebih banyak mengerti tentang daerah asalnya dan juga sedikit tau tingkat kemalasan dan ekonomi teman-teman, yang mana yang tidak punya kendaraan, komputer atau laptop, atau yang murni malas dan gak mau capek-capek mencari bahan alias hanya tau anggukan kata setuju. Singkatnya kami berhasil mendapatkan 40 pesanan maikalah.

"Gampang" ujarku, "Serahin gw soal ginian", kami menawarkan dengan harga terjangkau, 20.000 sampai dengan 30.000, dengan bonus tak akan ada isi yang sama, mereka tidak perlu capek ke sana dan ke mari mencari bahan. Belum ongkos transport, milih bahan cocok, mengetik dan menjilid. Singkatnya semua telah kuhitung di luar kepala, ongkos satu makalah yang terdiri 7 halaman dihargai 5.000 perak. Bayang-bayang keuntungan membuat ketiganya semangat 45. Bismillah bisa, kami pulang dan sebelum ke perpustakaan aku minta singgah sebentar ke rumah kakak sepupu yang jadi wakil menjagaku di kota ini, bunda tidak percaya jika kuharus tinggal di kost, ya... aku manut saja perintah bunda.


Di dapur saat kuingin sedikit melepas dahaga setelah kepanasan di perjalanan, sebuah suara memanggilku dari balik dinding dapur,

"Om tadi ada pesan Mama, Om disuruh nyusul ke bandara kalau udah pulang kuliah"

"Siapa yang datang tanyaku"

"Om andre kecelakaan Om" jawabnya singkat tapi bagai bom atom yang meruntuhkan langit beserta isinya menimpa seluruh tubuhku hingga hancur saat itu juga.

praaangggg

Gelas di tanganku lepas menimpa porselin sehingga menimbulkan suara gaduh (Jadi ingat AADC, pecahkn saja gelasnya biar gaduh sampai mengaduh, hehehe) keponaanku hanya melongo, tanpa berkata-kata. Aku harus segera ke bandara, berlari keluar menemui ketiganya yang menunggu di teras, tanpa membereskan pecahan dan keping kaca yang berserakan, mereka bertiga hanya bilang "iya" saat kuajak ke bandara, kuberlari menemui bunda, wajah itu terlihat tabah,

"Sabar Nak" ujarnya memeluk erat aku, ketiga sahabat ikut mendatangi bunda, menyalami dan ikut mencium tangannya, seperti yang kulakukan saat pamit ke orang tua mereka.

Rumah sakit, di situ aku liat wajah abang tertuaku berbalut perban, seluruh wajahnya tak terlihat.

"Dokter di kabupaten bilang harapan hidup atau tertolong 40%, makanya keluarga memutuskan carter pesawat" ujar abang sepupu yang ikut mengantar menemani bunda dan kakak. Aku baru sadar abang keduaku dan bapak tidak terlihat.

"Bapak tidak ada di rumah dek, Edy nyusul ngasih tau bapak, nanti mereka nyusul sekalian nyiapin biaya buat di sini" ujar kakak perempuan satu-satunya yang seperti membaca pikiranku. Ya dialah kakak yang paling dekat dengaku tentu setelah bunda, dan dia pulalah yang mengasuh dan merawatku dari kecil saat bunda sibuk ke sawah dari pagi sampai petang mengiring mereka untuk pulang.

Hari setelah itu semuanya kelabu dan mendung melukis pasti duniaku, semangat dan ceriaku terhisap rintihan sakit abang. Ketiga sahabatku seakan ikut larut dalam duka yang sama. "Maafin kami hanya doa dan menemani loe yang kami bisa lakukan" ujar ketiganya.

"Seandainya gw udah kerja mungkin bisa lebih" Ujar ardy, aku hanya tersenyum patah.

"Maafin gw sahabat-sahabat" ujarku, "Mungkin gw akan berhenti, semua telah kupertimbangkan sendiri" ketiganya serempak menoleh, mereka begitu mengenalku, terkadang ucapanku seperti titah tak terbantah.

"Cuti maksud loe" setelah sedikit tenang dari lengang, suara Ronald memecah sunyi.

"Gak tau sob, yang jelas mulai besok gw akan ikut bunda pulang" kutau hati ketiganya sama hancurnya saat itu, sampai keberangkatan bus besoknya mereka bertiga masih diam terbungkam.

Kampung bunda, hari di mulai dengan biasa, seluruh harta telah ludes yang bisa dijual`untuk biaya pengobatan,`rumah sakit tentu bukan panti sosial,`16 hari di ruang ICU, ditambah dua bulan di ruang perawaran, tanpa bunda bercerita apa-apa aku bisa menghitung sendiri, sementara selama aku beranjak dewasa yang aku tau abang tertualah yang menanggung semua biaya kuliahku dan juga membantu kelauarga, ayah dan ibu hanya petani biasa, kakak hanya guru honorer, sedang abang nomer dua asyik dengan dunianya, Tuhan kau dimana jerit batinku, sekejam inikah kau coret jalan takdirku,aku kebanyakan mengurung diri, aku bukan anak kampung yang kuat fisiknya untuk bekerja kehutan mengangkat balok, atau bakerja menjadi kuli truk pasir, jikapun aku mau, apa mereka mau terima, selain itu aku belum siap menerima beban mental mendapatkan tatapan iba warga, senyuman sinis para tetangga, kusadari berat buatku, tapi yang paling berat justru bunda, kehilangan dua jagoan yang ia banggakan dalam waktu nyaris bersamaan, dipundakku dia ingin titipkan kebanggaan sama warga, kalau anak seorang miskin sepertinya juga bisa jadi sarjana, sementara di pundak abang dia titipkan mimpi abang mampu mewujudkan mimpinya untuk membiayaiku sampai selesai. Manusia hanya punya keinginan, jalan Tuhan adalah keputusan, Dia mampu membolak-balik seluruh isi jagad raya, apalagi setitik noda seperti keluargaku terlalu mudah baginya.

Waktu seakan meminta tanggung jawab padaku, Tuhan apa yang harus aku lakukan untuk sekedar ringankan beban keluarga? aku tak tega melihat wajah bunda yang seharian di ladang, begitu juga ayah, sementara abang kedua baru saja mulai belajar bekerja, ikut orang kerja apa saja, walau fisiknya kuat, yang namanya kerja serabutan, tetap hasilnya hanya cukup untuk makannya sendiri, rasanya aku ingin mencaci Tuhan saat itu, tapi tanam tancap akidah telah terpancang sejak dini, bunda juga selalu terlihat bangun tengah malam, ali hanya bisa pasrah kemana jam takdirku akan di putar olehNYA.


Malam masih baru bertamu, siang pamit berkawan senja, ketukan pintu seakan pekikan hinaan di telingaku, tapi kakiku tetap kuseret ke arah suara, mulutku masih tetap mnjawab salam, sosok itu yang berdiri di depan pintu, sosok setengah baya, dengan senyum bijaksana, di belakangnya sesosok lain adalah anaknya, dia menatapku penuh kerinduan, mengelus kepalaku setelah aku menyalami dan mencium tangannya, aku masuk ke dalam bersama anaknya, sementara dia bersama ayah dan bunda berbincang-bincang di ruang tamu, sesaat bunda masuk, wajahnya sembab, bunda menangiskah? aku menatap wajahnya.

"Berkemas nak, besok kamu ikut mereka" aku mengalihkan pandang ke arah anak itu.

"Iya bang kami datang jemput abang" kata anak itu, sosok tadi ikut masuk.

"Berkemaslah, kau harus ikut besok, kita mulai lagi dari awal, ayah yakin kau mampu" dia adalAh ayah angkatku sejak aku masuk sekolah menengah, kutau perang batin ibu, antara ragu dan ikhlas, ia kembali memelukku.

"Pulanglah kapan saja jika kau gak sanggup" bisiknya lirih.

"iya bunda" jawabku yang diliputi sejuta pertanyaan, yang malam itu tak sedikitpun mataku mampu tertaut.

Semua kejadian ada hikmahnya, ke mana pacar-pacar abang dulu yang datang silih berganti? saat dia bertahta? ke mana teman-temannya saat dia berjaya? hanya ada dua sosok sahabatnya yang aku ingat sampai kini, yang aku anggap abang sendiri, keluarga,dan sosok-sosok yang aku hitung saat rapuh, yang mana hanya sekedar datang bertamu, niat membantu atau sekedar datang untuk bilang "Mampus loe makanya jadi orang jangan belagu" yang jelas,peristiwa abanglah yang membuka mata dan hatiku tentang arti kasih sayang seorang ibu, seharian lelah di sawah,bagitu sampai rumah dia yang selalumengecek abang sudah dikasih makan belum, sudah dimandikan belum, memasang kelambunya saat akan tidur, dan banyak lagi yang tak segunung emas akan bisa menebusnya. Derita batinnya saat mendengar ada yang berceloteh untuk apa diusahakan hidup apalagi udah tidak bisa apa apa.

07/03/2011 02:33
inspirasi saat pulang jenguk teman di rumah sakit yang trlihat kehilangan gairah hidupnya
Oleh: Muslimin (Profie)

Silahkan Baca Selengkapnya......

Sabtu, 05 Maret 2011

Maafkan Aku dan Terima Kasih


Kumerangkak di pelipis bumi
Gersang dan takut
Manik-manik yang menghiasi tubuhku
Tak sanggup lagi menjadi penghias
Tetapi hanya kebusukan

Tertatih-tatih kuberjalan
Tanpa batasan
Hanya isapan jempol kebaikan
Namun, tak kuat lagi menjadi pengindah
Tetapi hanya kebobrokan

Terluka lemah kumerintih
Sakit dan kalut
Senja pun meringis tertawa
Ah… seandainya menjadi kenyamanan
Tetapi Hanya kerusakan

Allah…
HambaMu yang busuk ini
Datang kepadaMu dengan segenggam hati
Hati yang hanya sedikit tertaut iman
Dan hati yang belum terketuk takwa

Allah…
HambaMu yang bobrok ini
Meminta kepadaMu dengan rangkaian doa
Lemah diriku
Dan tak ada daya upaya

Allah…
HambaMu yang rusak ini
Berusaha untuk bersyukur dengan sebaik kesyukuran
Kuingin buktikan kepadaMu
Bahwa aku menerima pemberianMu

Allah…
Maafkan aku dan terima kasih Ya Allah.

Oleh: Adi Nurseha (Profile)

Silahkan Baca Selengkapnya......

Adikku Sayang


Adikku yang manis
Tawamu menghadirkan keceriaan bagi orang-orang di sekitarmu,
Namun tidak bila kau berada di rumahNya.
Tawamu ibarat bunyi rentetan petasan yang sangat mengganggu.

Adikku yang cantik
Gaun indah dengan aneka warna dan hiasan yang kau kenakan sangat mempesona,
Namun sayang gaun itu hanya kau jadikan simbol pakaian semata bila memasuki rumahNya.
Sama sekali tak kau basahi gaun itu dengan tetes keringat gerakan shalat.

Adikku yang enerjik..
Mengapa kau lebih cekatan dalam menjalankan tombol-tombol di handphonemu untuk mengetik sebuah pesan singkat
Dibanding mengikuti gerakan imam di depanmu
Padahal di sampingmu ada seorang renta yang susah payah
Jungkir balik mengikuti gerakan imam
Tak malukah kau adikku?
Kamu bukan anak kecil lagi yang masih harus dijewer telingamu bila kamu melakukan kesalahan
Usiamu telah baligh
Di mana rasa malumu?

Adikku yang cerdas
Kemampuan otakmu menangkap ilmu sangat luar biasa
Namun sayang kecerdasanmu itu tidak kamu manfaatkan untuk menghafal rangkaian kata-kata indahNya
Malah kamu manfaatkan untuk mengingat keburukan orang lain.

Kecantikanmu
Kecerdasanmu
Hanya akan menjadi bumerang jika kau tak pandai memanfaatkannya
Kecantikan dan kecerdasanmu perlahan memudar dimakan usia
Jangan berbangga diri adikku
itu semua titipan dariNya yang sewaktu-waktu dapat Dia ambil
Malang nian nasibmu andaikata Dia murka padamu
Dan mencabut seluruh nikmt itu
Tanpa sempat kau manfaatkan untuk membuatNya makin mencintaimu.

Oleh: Yopi Megasari (Profile)

Silahkan Baca Selengkapnya......

Jumat, 04 Maret 2011

Menghalau Kabut Risau


Jika ditanya kenapa akhir-akhir ini aku sering terlihat kuyu, aku hanya tersenyum patah pada teman-teman yang datang silih berganti,

"Loe kenapa? gw lihat loe gak seperti biasanya?" tanya salah satu temanku yang datang tadi siang, aku hanya tertawa dan mencoba tersenyum walau kutak yakin senyumku bisa lepas seperti biasanya, yang pasti aku tak ingin mereka tau aku sedang gundah,

"Loe lagi ada masalah ya?" teman lain yang datang ikut bertanya, dan jawabanku tetap sama,

"aku gpp kok, mngkin hanya kecapean dan butuh istirahat" dan mereka tidak mengejar dengan pertanyaan lain, aman bisik hatiku.


Malam ini seorang sahabat datang dari Kecamatan, ada sesuatu yang diurusnya di kota ini. Mungkin 2 hari baru selesai. Aku berusaha terlihat biasa. Semoga dia tidak ikut membaca kalut dan gelisahku. Kubiarkan dia menguasai laptopku, bermain game dan internet sepuasnya. Dia juga bisa sambil menonton DVD dengan ratusan kaset yang kusuguhkan. Bonus handphone jika dia mau telepon, SMS, atau YM-an.

"Hartaku, hartamu,sobat. Belum cukup gw belain beliin cemilan dan gorengan, nikmati duniamu di situ, aku mau tidur" ujarku, naik ke tempat tidur, tangannya masih di atas laptop, mulutnya juga masih mengunyah cemilan.

"Dasar rentenirr loe, siapa yang ngijinin loe tidur duluan" ujarnya sesaat kemudian, menimpukku dengan guling pipih yang panjang, sambil menarik selimut bedcover, aku masih pura-pura tidak dengar ucapannya, teligaku tersumbat headphone,

"Bangun gak loe" ancamnya lagi sambil naik menarik headphone.

"Uggghh ni anak kenapa lagi, mau makan n minum ambil aja sendiri" ujarku sambil kmbali coba terpejam.


"Bangun" kembali suara baritonnya disertai tarikan selimutku yang kini telah berpindah ketangannya,

"Aku mau istirahat, besok bangun awal"

"Alasan loe" jawabnya tanpa dosa, "Biasanya loe online sampai tengah malem juga, gak bangun gw pulang sekarang" ancamnya!

"hahaha" ujarku melotot, sementara di luar hujan mulai menderas, pijar kilat sesekali ikut terlihat dari celah horden dan kaca jendela kamar, seriuskah ucapannya?
"Pulang? ke mana? malam-malam gini?" walau tanpa kata dia seperti mendengar tanyaku.

"Serius nih" sambungnya lagi,

"Udah main aja sendiri di situ" kucoba alihkan pembicaraan.

"Gak, sebelum loe bangun dan cerita loe kenapa?"

"Dubraaaxx!!! aku capek mau istrahat sob" jawabku.

"Loe kira gw gak? gw lebih letih, badan gw terasa remuk, loe bayangin gw 6 jam bawa motor, mana jalan ancurr, begitu sampai kota bolak-balik sana sini"

"Ya udah tidur aja kalau gitu"

"Kalau cuma mau tidur dan istirahat. Main game dan makan, gw gak akan nginap disini, gw tinggal boking aja kamar hotel, kalau cuma 2 malem gw masih mampu bayar sambungnya"

"Shiitt ni anak, penciumannya tajam benar" bhatinku bicara

"Gw sahabat loe, bukan teman loe, jadi loe gak bisa bohongin gw, saat loe benar-benar senang atau senang yang loe buat-buat"aku akhirnya duduk (benarkah seorang sahabat mendengar sekalipun kita tidak pernah mengucapkannya, menyanyikan kembali saat kita lupa bait-baitnya) jiwaku mengapung di samudera tanya?

"Sekarang ceritakan loe kenapa?"


Kuhempaskan nafasku seakan begitu ingin kuterlepas dari beban, ragaku kembali terbaring, mataku menatap putih tanpa warna langit-langit kamar, batinku tersentak,tidak selamanya putih itu suci dan indah terlihat, kita butuh warna lain untuk mengindahkannya, dan putih tak selamanya sempurna!!

"Gimana aku mau cerita sob, aku sendiri gak tau kenapa tiba-tiba jiwaku dicekam sepi, hatiku begitu risau, jiwaku gelisah tak tentu arah,aku benar-benar gak tau!"

"Teruss" ujarnya memintaku menumpahkan semua ganjalan yang tak pernah kuucapkan pada siapapun, rasanya aku jenuh, tapi jikapun iya kenapa kutetap bungkam?

"Aku ingin pergi jauh,tapi kenapa kumasih bertahan di sini?" aku terus saja berkicau yang hanya diselengi kata terus darinya hingga aku tak tau lagi apa yang ingin kuucapkan lagi.

"Teruss???"

"Ni makan tuh bantal" ujarku.

"Dasar tukang parkirr" kami tertawa bersama, tawa canda yang telah lama hilang, tawa yang tertelan adab tata krama, canda yang terkekang oleh santun etika.

"Udah plongkan sekarang?" tanyanya sederhana.

"Iya" jawabku.

"Nah sekarang loe boleh tidur, ni makanan semua jatah gw, tamu adalah raja" ujarnya!

Ternyata pelajaran baru yang kuterima, saat gundah, berapapun materi yang kau genggam, ratusan teman yang datang, terkadang efeknya biasa saja, tapi kehadiran sahabatlah yang kita butuhkan, kalau ada yang lagi kalut share aja ya, life is beautiful with your friendship

03/03/2011
Kamarku 00:14
Lelah,letih, ngantuk menguap entah kemana

Oleh: Muslimin (Profile)

Silahkan Baca Selengkapnya......

Cinta Lagi


Cinta, sebuah kata istimewa yang selalu nampak indah dalam lubuk hati setiap manusia. Setujukah kau dengan pernyataanku ini? Kalau kau tak setuju, coba raba hatimu, lihat dan rasakan apa yang ada di sana. Tak sadarkah kau, bahwa setiap senyum atau sapaanmu terhadap temanmu, itu adalah salah satu bentuk ungkapan cinta, bukankah itu sering kita lakukan?.

Ya, kalau sekarang kau sudah setuju, maka sudikah engkau jika cinta tak membuatmu merasakan indahnya dunia? Memang, mungkin ada pengorbanan di dalam pembuktian cinta, tapi pun, jika itu dilakukan semata-mata hanya untuk yang dicinta, semua tak kan jadi penderitaan untuk kita. Malah, kita justru akan semakin merasakan indahnya cinta itu. That’s right?.

“Berikan cintamu niscaya kamu akan dicintai. Berusahalah untuk memahami niscaya kamu akan dipahami. Dengarkanlah niscaya suaramu akan didengar. Ajarkan niscaya kamu akan mendapat pengetahuan” (Ini mengutip kata-kata temanku). Karena sesungguhnya, setiap cinta yang kita beri, maka dengan sendirinya kita telah memberikan cinta pada diri kita sendiri.

Berbentuk apakah cinta yang seperti itu? Aku telah sering merasakannya, yaitu cinta yang berupa ketenangan diri, dan kebahagiaan yang merasuk di kalbu terdalam. Sungguh indah rasa itu, pernahkah kau mencobanya? Cobalah selagi kau bisa. Dan meski, kita pun kadang khilaf terlambat untuk mencoba ketika ladang cinta itu ada di depan mata.

Kuberitahu engkau, kekhilafan itu, bisa seperti keegoisan diri dan ingin selalu merasa diperhatikan. Maka (ini mengutip kata-kata temanku), jadilah cahaya dalam kegelapan, alias “Light in the Dark”. Janganlah selalu ingin diperhatikan atau ingin dipenuhi keinginan-keinginan kita. Tapi fokuslah, pada apa yang bisa kita lakukan untuk orang-orang di sekitar kita, supaya kita menjadi “sebaik-baik manusia”, yaitu yang paling bermanfaat untuk menusia lainnya.

Oleh: Rosa Rahmania (Profile)

Silahkan Baca Selengkapnya......
Photobucket
 

Karya Tulis

Refleksi 02 Mei 2011

Ini hanya bagiku, entah bagi yang lainnya. Setiap hari orang-orang science mempelajari banyak simbol, dari alfabet hingga numerik atau beragam bentuk yang memang sengaja diciptakan sedemikian rupa. Aku tahu simbol-simbol tersebut sengaja diciptakan untuk

Kisah Kehidupan

Demi Sebuah Amanah

Telah lama aku berdiri di sini, di antara keramaian dan hiruk-pikuk terminal Pulo Gadung. Namun tak satupun bus antar kota yang mau berhenti dan membawaku meninggalkan kebisingan ini. Hampir satu jam lebih aku di sini, tapi semua bus antar kota nampaknya penuh semua.

Sastra

Cinta Dalam Hati ( CIDAHA )

Kala cinta datang menggoda Memanggil dan mengetuk pintu hati Lalu singgah ke rumah jiwa Tanpa kata permisi Hhm... Terdengar begitu syahdu menyentuh kalbu Namun, jika ini benar cinta Jangan biarkan cintaku padaMu hilang di hati Perkenankanlah tuk selalu mencintaiMu

© 3 Columns Newspaper Copyright by Website Nathiq | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks