Ini hanya bagiku, entah bagi yang lainnya. Setiap hari orang-orang science mempelajari banyak simbol, dari alfabet hingga numerik atau beragam bentuk yang memang sengaja diciptakan sedemikian rupa. Aku tahu simbol-simbol tersebut sengaja diciptakan untuk mempermudah ingatan, mengakumulasikan banyak satuan dan pemahaman, hingga bisa dicapai sebuah teori, sebuah hipotesis, sebuah postulat, dan sederhananya sebuah rumus.
Sekali lagi ini hanya bagiku, seringkali rumus-rumus tersebut hanya dipahami sebagai sebuah bentuk mati tanpa aplikasi yang hidup. Rumus-rumus tersebut hanya dipakai sebagai alat pengganti angka-angka yang diketahui ketika ujian berlangsung. Ini adalah kesalahan fatal bagiku, melupakan alasan dasar kenapa simbol-simbol bernama rumus itu dibuat, membuatnya seakan-akan diciptakan tanpa alasan yang bermanfaat, tergeletak begitu saja di buku tulis tanpa sesuatu yang aplikatif.
Dan jujur, aku tidak suka mempelajari sesuatu yang mati, yang tidak bisa aku aplikasikan hingga manfaatnya terasa dalam kehidupan. Meskipun kendalanya sangat luar biasa, membayangkan beberapa gaya dari sebuah benda mati, hingga gaya-gaya tersebut bisa menyebabkan gerak, usaha, maupun energi. Apa mungkin karena mindset dalam otakku yang space-nya sangat terbatas? yang aku tahu selanjutnya adalah bahwa aku masih harus banyak belajar, mempelajari berbagai fenomena rumus hingga bisa mengkonsepnya dengan baik. Hasilnya adalah pemahaman baru tentang kehidupan.
Aku sangat ingat sekali, saat itu seorang Kakak kelas menjelaskan padaku dan teman-teman:
"Seperti yang kalian tau P=F/A, artinya tekanan yang terjadi akibat adanya hubungan antara gaya eksternal dengan luas penampang. Dalam kehidupan, gaya eksternal diibaratkan segala masalah yang datang dalam hidup manusia, lalu luas penampang diibaratkan ruas hati. Aturannya, karena P (tekanan) berbanding terbalik dengan A (Luas penampang) maka setiap gaya eksternal (F) yang datang hingga menyebabkan tekanan dapat dikurangi efeknya dengan memperbesar luas penampang dalam diri kita. Gampangnya begini, setiap masalah yang datang seperti gaya eksternal yang menyebabkan tekanan dalam hidup kita. Akibatnya semuanya terasa buram dan suram, untuk mengatasinya adalah dengan cara melapangkan hati, bersikap sabar dan ikhlas agar tekanan dalam hidup kita berkurang"
Umm... menarik, aku suka rumus yang selalu diaplikasikan dalam kehidupan. Saat itu aku hanya terpesona mendengar penjelasan dari Kakak kelasku itu, beliau menambahkan:
"Seringkali manusia merasakan tidak cukup bisa untuk melapangkan hatinya sendiri. Hey siapa bilang melapangkan hati harus dari dalam diri, menambah luas penampang bisa diatasi dengan menambah luasnya dengan benda lain. Artinya berceritalah pada orang lain, curhat tentang masalah yang kamu alami. Itu sama dengan usaha menambah luas penampang hatimu, itulah sebabnya kenapa dengan bercerita tekanan dalam hati terasa berkurang dan hidup juga lebih terasa lega" Begitu paparnya,
Salah satu pesan dari rumus Fisika yang sederhana, favoritku juga adalah ketika dosenku menyamakan rasa malas dengan gaya statis yang membekekukan, itulah alasannya F (gaya) Statis lebih besar dari pada F (gaya) Kinetis, rasa malas memang selalu membuatmu malas memulai sesuatu. Namun jiika kamu bisa mengusir rasa malasmu dengan berbuat sesuatu yang bisa kamu lakukan sekarang juga maka gaya Statis dapat kamu ubah menjadi gaya kinetis yang efisien, selanjutnya dapat diciptakan kecepatan dan percepatan seperti hukum Newton 2. Lalu bagaimana jika rasa malas itu sama sekali tidak mau bergeming dan tetap bertahan?
Itulah gunanya yang bernama motivasi, seperti hukum Newton 1, hukum kelembaman "Sesuatu akan berubah jika terdapat alasan yang membuatnya berubah". Seperti kebanyakan manusia yang tiba-tiba berubah karena memang ada suatu motivasi sebagai gaya eksternal yang memang membuatnya semangat untuk berubah, menciptakan sebuah pencapaian.
Kemudian, aku digiring terhadap sebuah pemahaman mendasar tentang Fluida, kali ini asas Bernoulli. "Pergerakan arus akan menyebabkan berkurangnya sebuah tekanan yang ada sehingga lebih memperlancar laju aliran" artinya jangan diam menunggu sesuatu tapi bergeraklah menemukan sesuatu hingga berbagai tekanan dalam hidupmu akan berkurang. Umm... menarik bukan?
Aku menyebut semuanya sebagai sesuatu aplikatif yang bisa langsung diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Pernah terpikir kenapa jalur nasib tiap-tiap individu saling berbeda? ada yang begitu cepat sukses dan ada juga yang begitu sulit sukses? bagi yang cepat sukses mungkin itulah saat ketika kesempatan saling bertumbukan lenting tidak sempurna, tidak ada yang saling terpental tapi saling bertemu. Dan bersabarlah bagi yang belum menuai kesuksesan dalam hidupnya, ingat Allah itu Maha Adil. Jika Dia belum membuatmu sukses maka itu artinya Dia telah menyiapkan beragam kejutan yang harus kamu nikmati terlebih dahulu.
Dalam Impuls dan Momentum "Gaya kecil yang berkerja dalam waktu yang lama dapat menghasilkan perubahan momentum yang sama dengan gaya besar yang bekerja dalam waktu yang singkat" Artinya sederhana, jangan pernah putus asa terhadap segala usaha yang belum menuai hasil, karena jika kamu terus berusaha, sabar dan ikhlas maka ikhtiarmu akan menghasilkan sesuatu yang tidak jauh berbeda dengan orang yang lebih dulu sukses dalam hidupnya.
Dan satu hal, dulu aku berpikir bahwa seluruh benda, entah itu benda mati maupun benda hidup pasti akan mengalami gaya Gravitasi, semuanya bisa jatuh kapan saja. Tapi ternyata pemahamanku sedikit salah, yang berpengaruh terhadap sebuah gravitasi bukanlah sebuah benda tapi ruang seperti kata eyang Einstein. Ruang berudara seperti Bumi yang menyebabkan gaya gravitasi itu sangat mungkin mengenai seluruh benda mati dan hidup. Maka sederhana, jika selama hidup tidak ingin merasakan jatuh hiduplah di planet tanpa udara, di luar angkasa sana tidak ada gaya apapun selain gaya gravitasi yang membuatmu jatuh. Alhasil kamu akan melayang bahkan beratmu sendiri sama sekali tidak membantu.
Tapi tidak perlu khawatir, Gravitasi bisa dikacaukan dengan jarak. Seperti kata hukum universalnya abang Newton tentang gravitasi itu sendiri. "Semakin besar jarak maka efek gravitasi akan semakin melemah". Umumnya orang-orang jatuh karena adanya tekanan yang besar, bagaimana caranya untuk bangkit? Ciptakan semangat hingga bisa mengecoh gaya gravitasi yang menimpa, semangat secara tidak langsung akan membuatmu bangkit, membuatmu menciptakan jarak dengan banyak tekanan yang mengganggu sebelumnya. Benarkan?
Sebagai ulasan, ada sebuah kalimat favorit adegan Cinta-Rangga dalam salah satu Film bagus dalam listku "Ada Apa dengan Cinta", begini bunyinya "Bila Emosi mengalahkan logika, terbuktikan kebanyakan ruginya. Benerkan?" Singkatnya, emosi hanya membuat hatimu tumpul menyerupai benda pejal. Aturannya semakin pejal sebuah benda dia akan semakin sulit untuk bergerak, begitu juga hati yang tumpul dia tidak akan mampu berbuat apapun, jelaskan kebanyakan ruginya? hohoho...
Beginilah hidup, hidupku yang ingin aku ciptakan se-aplikatif mungkin. Dengan sederhananya hidup dan serumitnya beragam rumus yang ingin aku konsep dengan sesederhana mungkin. Pikiran manusia telah banyak mengandung komplikasi karena begitu rumitnya, maka cukup sederhanakan berbagai hal disekitarmu hingga tidak membuat hidup yang sederhana ini juga terasa lebih rumit. Fisika yang rumit-pun jangan dibuat makin rumit dengan banyaknya rumus mati tanpa konsep. Inilah tantanganku kedepannya, tantangan setiap orang yang pernah berhubungan dengan Fisika, begitu juga dengan disiplin ilmu lainnya. Hingga kedepannya pendidikan di Indonesia dapat dinikmati dengan sangat menyenangkan, demi masa depan bangsa yang lebih baik dari sekarang. Selamat hari pendidikan nasional.
**
Pendidikan itu tidak dibatasi oleh berlembar-lembar manuskrip yang berisikan tulisan
Juga terpaku pada berbagai teori tanpa eksperimen yang nyata
Tidak juga hanya berbentuk asumsi yang melahirkan perdebatan semata
Tapi jauh lebih membentang bagi mereka yang suka berpikir terbuka
Segala yang terlihat
Segala yang terdengar
Segala yang terasa
Yang menuntun hati kepada hikmah dan pembelajaran yang tak terhingga
Pendidikan itu bukan kepintaran yang menjadi alasan utama
Tapi justru lebih ditekankan kepada moral yang santun
Serta sikap yang empati dan ikhlas
Juga seberapa yang dapat digunakan untuk bermanfaat
Seperti batang padi yang kian merunduk ketika makin berisi
Atau lebah yang tak pernah lelah untuk memberi
Pendidikan itu adalah meleburnya jiwa dengan alam semesta
Penyebab lebih terbukanya mata hati terhadap kebenaran
Tidak sekedar membenarkan kebiasaan para nenek moyang
Namun bersedia untuk membiasakan hal yang baru tapi benar
Pendidikan itu sama seperti menyadari kenapa bumi berputar
Berpikir kenapa air mengalir
Serta alasan bintang yang bersinar
Lewat paradigma dengan format tiga dimensi kesegala arah yang berpendar
Pendidikan itu bukan pemecah antara agama dan pengetahuan
Namun pemersatu diantara keduanya
Bukan sekedar menuntut untuk tahu
Namun mengajarkan untuk memahami
Pendidikan itu -Ki Hajar Dewantara-
"Ing ngarso sung tulodo"
(Di depan memberikan contoh teladan yang baik)
"Ing madyo mangunkarso"
(di tengah membangkitkan semangat)
"Tut wuri handayani"
(dari belakang memberikan dorongan)
SELAMAT HARI PENDIDIKAN NASIONAL
Cerdaskan nurani
Kokohkan budi pekerti
Wujudkan indonesia lebih baik :)
Oleh: Ana Falasthien Tahta Alfina (Profile)
Ungkapan Mutiara
Senin, 23 Mei 2011
Refleksi 02 Mei 2011
Minggu, 22 Mei 2011
Kesendirian yang Bermakna
Kesendirian, suatu waktu di mana kita tak bisa menghindarinya. Banyak moment di mana kita harus tinggal seorang diri; saat di kamar mandi, saat di rumah tak ada orang kecuali kita, saat berada di sebuah ruangan warnet. Saat kesendirian itu muncul, saat di mana syaithan dengan gencarnya menggoda kita. Karena biasanya, kita akan jauh lebih semangat beribadah ketika ada orang di sekitar kita. Apalagi jika orang yang di dekat kita adalah orang yang shalih, yang senantiasa “menularkan” kebaikan pada diri kita. Ketika penghalang itu tak ada, setan pun dengan leluasa menerobos masuk dalam hati dan pikiran kita.
Karena iman yang lemah, kita pun kerap terjebak pada bujuk rayu syaithan. Kita menuruti apa mau syaithan. Tadinya kita rajin shalat, membaca Quran, tiba-tiba menjadi makhluk jalang yang bersuka cita pada kemaksiatan. “Ah… tidak ada yang melihat saya melakukannya,” bisiknya dalam hati.
Saat kesendirian itulah keimanan kita sedang diuji, apakah kita benar-benar mencintai Allah dengan setulus hati, apakah kita hanya takut kepadaNya ataukah ibadah yang kita lakukan selama ini hanya sandiwara dan ingin dipuji oleh orang yang sedang bersama kita?
Saat sendiri, berarti kita hanya berdua-duaan dengan Allah. Alangkah baiknya kita gunakan kesempatan itu untuk bermunajat dan mendekatkan diri kepada Allah. Ketika dalam keramaian kita berdzikir seratus kali. Maka saat sendirian, kita harus lebih dari itu. Uwais al-Qarny Ra. pernah berkata, “Aku tidak pernah melihat seseorang bisa mengenal Tuhannya, sementara dia lebih banyak bersama selainNya.”
Suatu ketika, di malam yang dingin dan sunyi, Imam Abu Hanifah bermunajat di sebuah masjid. Di sana beliau menghabiskan waktunya dengan shalat, dzikir, dan berdoa hingga shubuh. Tak disangka, ada orang yang melihat ibadahnya itu. Setelah mengetahui ada yang memperhatikannya, beliau lalu berkata kepada orang tersebut agar merahasiakan perihal apa yang dilihatnya.
Diriwayatkan bahwa Imam Malik tidak terlalu banyak melaksanakan puasa dan shalat sunnah. Akan tetapi, kesendiriannya dipenuh dengan hal-hal yang berguna dan bermakna.
Seorang ulama bernama Umar Tilmisani pernah menceritakan pengalamannya. Di suatu malam, Imam Hasan al-Banna -gurunya- memanggil namanya, “Ya Umar, apakah engkau sudah tidur?” Lantas Umar menjawab, “Belum ya Syaikh…” Kemudian Imam Hasan al-Banna kembali masuk ke kamarnya. Beberapa saat kemudian Imam Hasan al-Banna kembali bertanya dengan pertanyaan yang sama. Tapi kali ini Umar sengaja tidak menjawabnya, karena pasti nanti akan bertanya lagi hal yang sama. Umar pura-pura tidur.
Setelah tidak ada jawaban dari Umar, Imam al-Banna masuk kembali ke kamarnya. Beberapa saat lamanya pertanyaan yang sama tidak segera muncul, Umar pun melihat apa yang dilakukan gurunya itu di dalam kamarnya. Demi melihatnya, Imam Hasan al-Banna sedang bermunajat dengan tangisan menyayat hati. Akhirnya tahulah Umar, jika gurunya itu menginginkan kesendirian dalam bermunajat kepadaNya, sehingga amalan hanya semata-mata karena Allah.
Sungguh asyik berdua-duaan bersama Allah, sehingga Allah akan menganugerahi cahaya pada wajah kita. Imam Hasan al-Bashri pernah ditanya, “Kenapa orang yang rajin shalat malam wajahnya tampak bercahaya?” Imam Hasan menjawab, “Karena dia berdua-duaan dengan Allah sehingga Allah menghadiahinya sebagian dari cahayaNya.”
Seorang yang taat di kala ramai maupun sepi akan mereguk manisnya iman. Dia akan mendapatkan peningkatan kualitas iman dalam dirinya. Sesungguhnya semua ibadah yang kita lakukan untuk diri kita sendiri, bukan untuk orang lain. Kita berlaku demikian laksana melemparkan kayu Hindi (bahan minyak wangi) ke tengah bara api, kemudian wanginya tercium oleh manusia, namun mereka tak tahu dari mana sumber wewangian itu.
Ada orang yang jika kita mendekatinya terasa damai. Ketika menatap wajahnya, semakin mendorong kita untuk banyak mengingat Allah. Semakin bergaul akrab dengannya, terasa kebaikan-kebaikannya. Cintanya kepada kita bukan kamuflase sesaat, tetapi merupakan cinta murni yang datang dariNya. Terasa di sekeliling kita “harum mewangi” ketika kita bersamanya.
Namun, ada orang yang jika kita semakin dekat dengannya, hati kita semakin hampa, keras membatu, dan kotor oleh maksiat. Mungkin pada mulanya, kita menganggapnya orang baik. Namun lama kelamaan ketahuan belangnya, hatinya lebih busuk dari bangkai dan lebih kejam dari binatang liar. Merekalah orang-orang yang hanya taat di kala ramai, namun berbuat maksiat di saat sendiri.
Barangsiapa yang kesendiriannya baik dan penuh makna, akan menyebarlah aroma keutamaannya dan hati pun akan senantiasa mencium wewangiannya. Jagalah perilaku Anda dalam kesendirian, karena hal itu sangat bermanfaat.
Jakarta 05.05.2011 pukul 03.45
Oleh: Siti Aisah (Profile)
Sabtu, 21 Mei 2011
Demi Sebuah Amanah
Telah lama aku berdiri di sini, di antara keramaian dan hiruk-pikuk terminal Pulo Gadung. Namun tak satupun bus antar kota yang mau berhenti dan membawaku meninggalkan kebisingan ini. Hampir satu jam lebih aku di sini, tapi semua bus antar kota nampaknya penuh semua. Aku sudah mulai gelisah dan bosan dengan suasana bising di sekitarku itu, terbersit dalam anganku untuk menembus keramaian, lalu mencari tempat mangkal bus antar kota seperti Sinar Jaya misalnya. Namun belum sempat aku melangkahkan kaki, saat itulah datang seorang bapak yang nampaknya juga hendak menunggu bus antar kota. Sekilas bapak setengah baya itu ramah menegurku dan bertanya ke mana tujuanku. Percakapanpun mengalir begitu saja, tak pernah terbesit di otakku menaruh curiga kepada beliau. Beberapa saat kemudian Bapak setengah baya itu pun memberikan saran untuk naik minibus dan turun di dekat pangkalan bus Sinar Jaya.
Tanpa rasa curiga aku pun menuruti saran bapak setengah baya itu. Ia sibuk melambai-lambaikan tangan pada beberapa minibus yang lewat. Namun belum jua ada minibus yang berhenti sebagai respon atas lambaian tangannya. Sementara riuh rendah suara bising kendaraan dan teriakan pedagang asongan semakin memekakan gendang telinga. Akhirnya ada juga minibus yang berhenti menghampiri lambaian tangannya. Bapak itu pun mempersilahkan aku untuk melompat ke atas minibus terlebih dahulu. Dengan sigap aku pun segera melompat. Sesaat kemudian aku telah berada di dalam minibus yang di maksud. Tanpa memperhatikan bapak setengah baya itu, aku segera mencari tempat duduk yang berada tepat di dekat jendela kaca, dan ternyata ia mengambil tempat duduk tepat di sebelah ku. Padahal masih banyak tempat duduk lainnya yang bisa ia tempati. Akhirnya pembicaraanpun kembali berlangsung, saling tanya saling jawab, namun aku hanya menjawab seperlunya saja. Entahlah seperti ada rasa risih yang hinggap, yang membuat perasaanku menjadi was-was. Apalagi melihat caranya duduk dan caranya mengajak bicara, seolah ingin selalu dekat. Untungnya aku membawa barang bawaan yang bisa kujadikan dinding pembatas sehingga beliau tak bisa duduk merapat ke arahku. Mulailah bapak itu mengarang sebuah cerita, cerita yang lumayan menarik namun membosankan bagi diriku.
Beliau mengaku kalau saat ini dirinya sedang menghadapi sebuah masalah menyangkut harta warisan keluarganya, yang hanya akan beliau dapatkan apabila beliau telah jelas mempunyai seorang calon istri. Beliau menerangkan detail permasalahan dengan gaya bahasanya yang mungkin mampu melambungkan hayalan seseorang yang mudah terlena dengan iming-iming jutaan rupiah. Tapi maaf, tidak untukku. Aku seperti telah menebak apa ujung dari akhir ceritanya. Benar juga, akhirnya beliau memintaku untuk pura-pura menjadi calon istrinya dengan imbalan dua juta rupiah.
Dengan sopan aku pun menolak, tapi beliau terus berusaha menerangkan, memohon dan mengiba dengan berbagai kalimat yang intinya memelas, hingga membuatku curiga bahwa cerita itu hanyalah karangannya saja. Namun aku berusaha tuk tetap rileks seolah tidak menaruh rasa curiga terhadapnya. Tak terasa minibus yang kami tumpangi berhenti di sebuah jalan yang sangat besar dan bercabang-cabang, dan bapak setengah baya itu pun segera mengajakku untuk turun sementara dengan sigap tangannya meraih barang titipan temenku yang tadi kujadikan dinding pemisah tempat duduk antara diriku dengan beliau. Kontan saja akupun segera turun mengikutinya, karena beliau telah mengambil barang titipan itu dan membawanya turun. Mau tidak mau, aku pun mengikuti langkah kakinya dengan penuh tanda tanya. Rasanya tidak mungkin aku berteriak dan lari karena aku sendiri tidak tahu di mana aku berada. Jika aku berteriak maka apa yang mesti aku teriakkan, karena sejauh ini bapak setengah baya itu tidak menjahatiku. Akhirnya kuhanya bisa mengikuti beliau sambil mencermati setiap ruas jalan raya di sekitarku.
Diantara riuh rendah kebisingan lalu lintas kota Jakarta saat itu, bapak itu mengatakan bahwa pangkalan bus Sinar Jaya berada tak jauh dari tempat kami berdiri. Akupun menoleh mengikuti arah telunjuk tangannya yang menunjuk ke arah jalan sepi di ujung jalan. Selanjutnya aku segera mengikuti bapak setengah baya itu menyeberangi kawasan jalan raya yang cukup lebar.
"Maaf Pak, biar saya bawa sendiri, ini punya temen saya." kataku mencoba meminta barang yang dibawanya. Namun beliau tidak memberikan barang titipan temenku itu. Terpaksa aku pun terus mengikutinya. Kini kami telah berada di jalan raya yang sepi, di kanan kiri jalan di penuhi pohon-pohon besar yang menjulang tinggi. Hatiku semakin was-was, mau di bawa kemana aku ini. Semakin berkecamuk perasaan dalam dadaku. Pikiranku mulai dihantui perasaan curiga yang berlebihan. Namun aku masih tetap pura-pura tenang, melangkah mengikuti langkahnya menyusuri sepinya jalan raya.
Dari kejauhan nampak seorang laki-laki mondar-mandir di tepian jalan, hatiku berdebar-debar tak karuan, jangan-jangan itu teman bapak ini. Kecemasan mulai hinggap memenuhi otakku. Tak henti-hentinya aku berdoa memohon perlindungan dari Yang Maha Kuasa. Kalau bukan karena barang titipan temanku dibawa bapak itu, aku tidak akan mengikuti langkah kakinya, pasti aku sudah ambil langkah seribu. Yang aku syukuri saat itu adalah aku tidak memakai rok. Yah... untungnya aku pakai celana jeans dan sepatu sport. Sehingga memudahkan bagiku jika nanti terpaksa harus berkelahi melawannya, lalu lari sejauh-jauhnya. Sampai detik itu aku masih mencoba untuk bersikap tenang. Sambil terus mengikuti bapak itu aku memutar otakku, mencoba mencari jalan keluar seandainya terjadi hal-hal yang mungkin membahayakan keselamatan diriku.
Setidaknya hatiku cukup tenang karena aku punya sedikit bekal ilmu beladiri yang pernah kupelajari sewaktu sekolah di tingkat SMP. Mau tidak mau mungkin harus kupraktekan. Walau aku tahu aku belum tentu menang jika harus adu otot dengan pria dewasa berbadan kekar itu. Saat itulah tiba-tiba saja aku ingat nasehat dari seorang guru Tatanegara saat kumasih sekolah di SMA Katholik. Bagaimana melumpuhkan lawan yang berbadan kekar sekalipun hanya dengan menggunakan satu ibu jari. Tanpa sadar aku pun tersenyum sendiri, ketenangan batin mulai menyelinap di benakku. Dalam hati aku mulai bicara sendiri "Biarin mati-mati, kalau gak aku yang mati ya lawan yang mati". Serasa menjadi orang terkejam saat itu. Kembali kuatur nafas sekedar tuk menenangkan dan mengontrol diri. Aku mulai menyusun strategi dalam otakku, dan tetap berusaha untuk bersikap tenang.
Jarak semakin dekat, dan akhirnya...
"Alhamdulillah..." pekik jerit hatiku mensyukuri kenyataan detik itu. Ternyata laki-laki yang mondar-mandir itu bukanlah teman bapak setengah baya yang masih setia menenteng barang titipan sahabatku. Bapak setengah baya itu terus berjalan sambil tak henti-hentinya mengarang cerita seputar harta warisannya. Bosan aku mendengarnya, namun aku masih menunjukkan bahwa aku serius mendengarkan kisahnya, sambil manggut-manggut dan sesekali menampakkan wajah seolah aku merespon ceritanya. Akhirnya setelah melewati jalan raya yang sepi dan cukup panjang itu, sampailah kami di sebuah wartel dekat gerbang pangkalan Sinar Jaya. Ada binar indah di mataku begitu mengetahui aku telah berada di tempat yang cukup strategis untuk lepas dari perhatian bapak setengah baya itu. Sesaat kemudian bapak setengah baya itu mengajakku masuk ke wartel tersebut dan memintaku untuk menunggu sebentar karena ia hendak menelepon familinya untuk memberitahukan bahwa ia telah bersama calon istrinya. "Wuih... gila... bergidik hatiku, betapa pede-nya beliau, ngaca deh ngaca..." Gerutuku dalam hati.
Aku pun hanya mengangguk dengan polosnya, dan membiarkan beliau masuk ke ruang kecil untuk menelepon familinya. Tiba-tiba ada angin segar datang menyerang urat syarafku, ternyata bapak itu meninggalkan barang tititpan sahabatku tepat di dekat kakiku. Kesempatan ini pun tidak aku sia-siakan. Begitu kulihat dia sedang sibuk menekan tombol telepon dan mulai menelepon dengan bisik-bisik. Segera kuangkat barang titipan sahabatku dan dengan santai melangkah menuju pintu keluar dari wartel itu. Sesampainya di luar wartel, aku segera ambil langkah seribu. Lari......................
Aku segera berlari menuju kios pedagang asongan dan bertanya di mana aku bisa mendapatkan tiket bus Sinar Jaya. Pedagang asongan yang kutanya segera menunjukkan loket penjualan tiket bus Sinar Jaya. Setelah itu aku segera berlari menuju loket penjualan tiket tersebut. Tanpa menyia-nyiakan waktu yang ada, aku segera memesan tiket yang kubutuhkan, lalu merogoh kocekku dengan menyodorkan nominal uang sesuai harga tiket untuk satu kali perjalanan sampai ke terminal tujuanku. Ternyata bus tidak langsung berangkat, dan masih menunggu waktu sekitar 45 menit. Namun aku tidak mau menunggu di ruang tunggu, dengan setengah berlari aku segera mencari bus sesuai dengan nomor yang tertera pada tiket bus yang ada di tanganku. Tidak terlalu sulit untukku menemukan bus tersebut. Dengan cepat aku melompat ke dalam bus dan duduk di bagian paling belakang. Segera kuatur dudukku menirukan cara duduk seorang anak berandalan, yah... kedua kaki kunaikkan ke atas besi yang tepat berada di depanku, sementara badan dan kepalaku ku sandarkan lebih rendah dari kaca jendela. Sehingga tidak mungkin terlihat dari luar bus.
Kedua penumpang yang berada tak jauh di depanku menoleh ke arahku untuk sesaat. Dan aku tak peduli dengan tatapan keduanya, aku sibuk mengatur nafasku yang masih tersengal-sengal. Aku pun masih terus waspada dan terus berdoa, semoga bapak setengah baya tadi tidak menemukanku. Tak berapa lama kemudian beberapa penumpang sudah mulai memenuhi bus antar kota ini, dan akhirnya bus yang ku tumpangi inipun pelan-pelan melaju meninggalkan pangkalan Sinar Jaya itu.
Alhamdulillah... selamat aku... Segera aku memperbaiki cara dudukku. Kini aku pun bisa duduk dengan tenang. Kembali kuterbayang saat-saat mencemaskan sepanjang perjalanan siang tadi bersama bapak setengah baya itu, yang entah bernama siapa. Sebenarnya aku sendiri tidak tahu akan kebenaran cerita bapak setengah baya itu. Dan aku juga tidak peduli apa niatan yang sebenarnya ada di kepala bapak setengah baya tadi. Tidak ada maksud untuk su'udzon kepadanya, aku hanya mencoba untuk waspada dan menjaga diri dari berbagai bahaya yang mungkin mengintai diri ini.
Satu hal yang pasti, aku tidak tertarik dengan uang imbalan yang ditawarkannya, aku terus mengikuti bapak tadi karena bapak tadi membawa barang titipan temanku. Apa pun bentuk barang itu, barang itu adalah amanah yang harus kusampaikan pada keluarga sahabatku.
***Ini adalah pengalamanku sewaktu masih di PJTKI Kelapa Gading jakarta, dan hendak cuti ke Jawa ***
Dimanapun kita berada, pastikan agar selalu bersikap tenang agar kita bisa berpikir tuk mencari jalan keluar tanpa kekerasan. ^_^
Oleh: Khasanah Roudhotul Jannah (Profile)
Jumat, 20 Mei 2011
Untuk Dirasa
Aku tak pernah tahu apa arti cinta sesungguhnya. Aku hanya bisa rasakannya. Begitu dalam dan tersembunyi dalam lubuk hati. Ah, andainya semua diijinkan untuk rasakan cinta, aku yakin tak akan bisa orang berpatah hati.
Entah, rasa ini begitu terasa sampai aku tak kuasa meneteskan air mata karenanya. Cintalah yang kurasa, pada apapun yang sudah terjadi bersamaku, siapapun dan hal apapun.
Sejujurnya aku tak pernah benar-benar mengerti dengan semua yang terjadi. Tapi, yang bisa kurasakan hanya sebuah rasa itu, meski kadang aku menyelewengkannya, kadang aku tak berikan itu pada yang seharusnya aku berikan. Lalu aku harus apa?
Terapi satu-satunya yang selalu ingin kulakukan adalah tersenyum dalam hati. Mengingat bahwa melalui cinta aku bisa tegar berdiri sampai saat ini. Kasih sayangNya yang sangat tulus menggedor-gedor pintu hatiku, dan ketika kubuka pintu itu, aku terkesima dengan sangat. Ia datang padaku dengan keanggunan rasa, sesuatu yang belum pernah kutemui pada tamu-tamuku sebelumnya.
Lututku lemas, badan menggigil, dan hati meronta-ronta seolah ingin kupeluk saja cinta yang ada di hadapanku itu. Mendekapnya erat sampai kan kupastikan dia tak akan pergi dariku. Begitulah cinta menghampiriku, menyergapku tanpa ampun dengan sejuta pesonanya.
Tapi ada yang hampir kulupa, munginkah ini manifetasi terbesar dalam hidup manusia? Semua orang begitu ramai membicarakan cinta, semua hati langsung bergegas ketika cinta datang dalam hidup mereka. Meski yang sebenarnya cinta tak pernah bisa kudefinisikan, karena hanya perasaan yang bicara.
Cinta adalah tentang rasa, cinta juga adalah tentang hati. Di situlah bersemayam titah Tuhan bagi kebaikan hidup manusia. Ikutilah bagaimana hatimu berucap, maka kau akan temukan bahwa sebenarnya Allah sangat dekat dengan kita.
Karena setulus-tulusnya cinta adalah seperti cinta Allah pada hambaNya, seperti keindahan akhlak Rasulullah pada umatnya, seperti kasih ibu pada anaknya, dan seperti sayang kita pada sesama ciptaanNya. Bisalah merasakan bahwa ketika kita berjanji untuk berbaik sangka pada cinta, maka saat itulah kita akan rasakan juga cinta tak akan pernah menyakiti. Sebab bicara cinta adalah bicara tentang diri kita sendiri. Biarlah orang lain memperlakukan cinta dengan cara mereka sendiri. Meski sakitnya cinta itu kerap kita rasa, sudahlah, buang semua itu sebab tak akan menjadikan kita bermetamorfosa menjadi manusia yang kerap bermanfaat bagi manusia lainnya. Bahagiakanlah hidup orang lain, maka kita telah membahagiakan hidup kita sendiri.
*Have a Nice Day sobat Nahiq……. ^_^
Oleh: Rosa Rahmania (Profile)
Kamis, 19 Mei 2011
Berhenti Sejenak dan Segera Bergerak Cepat
Dari Suhaib ra., bahwa Rasulullah Saw. bersabda, "Sungguh menakjubkan perkaranya orang yang beriman, karena segala urusannya adalah baik baginya. Dan hal yang demikian itu tidak akan terdapat kecuali hanya pada orang mukmin; yaitu jika ia mendapatkan kebahagiaan, ia bersyukur, karena (ia mengetahui) bahwa hal tersebut merupakan yang terbaik untuknya.
Dan jika ia tertimpa musibah, ia bersabar, karena (ia mengetahui) bahwa hal tersebut merupakan hal terbaik bagi dirinya" (HR. Muslim)
SABAR. . .
Entah dari mana asalnya, kata ini terkadang ampuh, membuat kita berhenti menangis saat cobaan menyapa hidup kita. “Bersabarlah”. Kadang malah membuat kita ingat sekaligus ingin beristighfar dan langsung mengambil wudhu, lalu Quran untuk melantunankan beberapa kalimatnya. “Bersabarlah”. Bagi yang non-Muslim biasanya juga langsung mengatakan “Puji Tuhan” dan mengambil kitab sucinya sambil mencari rentetan ayat yang berhubungan dengan penenangan diri dan berserah diri. “Bersabarlah”.
Karena saya seorang Muslim, maka saya menulisnya berdasarkan apa yang saya pahami dari keyakinan saya, namun ini bukan berarti mengesampingkan agama non-Muslim atau melarang yang berbeda keyakinan dilarang membacanya. So, tulisan ini untuk siapapun yang ingin memelihara sifat SABAR dalam konteks yang luas. ^_^
Sabar berasal dari bahasa Arab, yang kemudian seiring perkembangan budaya menjadi istilah dalam bahasa Indonesia. Asal katanya adalah "Shobaro" membentuk infinitif (masdar) menjadi "shabran". Jika didefinisikan secara bahasa, sabar berarti menahan dan mencegah. Agar semakin kuat maknanya. Mari kita mengintip firman Allah dalam Quran, “Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaanNya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas." (QS. Al-Kahfi: 18 - 28).
Seberapa penting tho sabar itu?
Lha ini dia pertanyaan yang mungkin semua orang sepakat dengan saya. Bahwa sabar itu sangat amat penting sekali. Mau bukti? Banyak pemerkosaan yang terjadi di Negri ini. Andai saja para pelaku bersabar menahan syahwat mungkin saja tidak ada korban, malah sekarang lagi nge-trend banget tuh Bapak menjadikan anaknya sebagai objek pelampiasan syahwatnya. Mau bukti lagi? Andai saja para koruptor bersabar untuk menjadi jutawan, uang Negara tidak akan habis seperti sekarang. Andai saja kemarin, ketika kalah AFF para supoter sabar, pasti deh kita tidak akan menyalahkan si Firman Utina (soalnya lagi musim bola jd contohnya sedikit nyerempet hehehe…) dan parahnya andai para pembeli tiket final AFF sedikit bersabar pasti tidak ada deh yang sampai pingsan apalagi ada yang meninggal karena dehidrasi.
Tidak akan ada pencurian hingga akhirnya pelaku membunuh korban, jika sabar itu ada, karena sabar adalah ketenangan. Tidak akan membuat suami istri saling membenci dan melakukan perceraian, jika sabar itu ada, karena sabar adalah kedamaian. Tidak akan ada bentrok antara mahasiswa yang melakukan demonstrasi dengan polisi, jika sabar itu ada, karena sabar adalah pembelajaran. Tidak akan ada guru yang mengacuhkan muridnya karena kenakalannya, jika sabar itu ada, karena sabar sebuah didikan.
Bagaimana sabar itu bisa tumbuh?
Sabar bukan berarti berhenti dan diam ketika ada masalah yang menimpa hidup, dan bukan berarti putus asa dan pasrah tanpa melakukan suatu apapun. Berhenti sejenak dan segera bergerak cepat melakukan perubahan ke arah yang lebih baik. Sabar adalah menunda respon atas stimulus yang menyakitkan dirinya untuk beberapa saat sampai merasa tenang sehingga pikiran dapat berfungsi kembali dengan baik. Itu berarti secara tidak langsung sabar akan mengasah kecerdasan emosi, terutama dalam menghadapi situasi marah dan menyakitkan.
Pada dasarnya manusia diciptakan oleh Allah SWT. di muka bumi ini dituntut untuk selalu mendayung akan budinya agar tercipta ketentraman, kedamaian, kebahagiaan, dan kebaikan. Secara psikologis orang-orang yang demikianlah yang akan mengalami ketenangan dalam hidupnya walau kerap tekanan hidup menghampiri.
Manusia mempunya naluri yang mengajaknya untuk mencari, menentukan dan menemukan sesuatu yang baik dalam hidupnya. Naluri juga yang senantiasa mengajak manusia untuk membenahi diri ke arah yang lebih baik. Dalam setiap hari bahkan setiap detik kehidupannya, ia berusaha memperbaiki hal-hal yang dianggap kurang pas dan mencari alternatif lain yang lebih baik. Manusia dengan akal budinya kemudian menjadikan hidup sebagai sebuah proses pencarian yang tidak pernah kunjung usai serta mencari kepuasan dalam melakukan segala hal, namun terkadang kepuasan tersebut semakin tidak ia dapatkan.
Dalam sebagian besar perjalanannya hidup anak adam, agama banyak memberikan petunjuk. Namun dengan adanya keterbatasan kemampuan serta ideologi menyimpang, manusia kerap tidak mampu menggapai puncak keistimewaan tersebut. Dalam konteks ini, manusia juga lazim mengeluh dan bahkan kecewa akan kondisi psiko-Ilahiyah-nya, sehingga merasa terpanggil untuk melakukan perbaikan-perbaikan dalam hal keagamaannya.
Kesatuan antara keyakinan terhadap Allah SWT., serta taat terhadap apa yang sudah diajarkan Islam, sangat membantu kita untuk terus memelihara sikap sabar dalam setiap konadisi. Ketenangan jiwa yang dihasilkan dari kedekatan kita pada Yang Maha Kuasa memberikan energi positif dalam menjaga hati kita yang kerap berbalik setiap waktu. Menjadi manusia yang selalu berikhtiar, berdaya upaya dan berjuang agar menjadi orang yang beriman, dengan mendidik dirinya masing-masing, dan memperdalam keyakinan dan pengetahuannya tentang Tuhan dan agama adalah cara cepat untuk memperoleh energi sabar dalam setiap kondisi. Insya Allah.
Oleh: Luluk Evi Syukur (Profile)