Ungkapan Mutiara

Kita seperti teko, apa yang dikeluarkan maka seperti itulah di dalamnya. Maka berjanjilah untuk selalu membahagiakan orang lain, karena dengan begitu kita membahagiakan hidup kita sendiri (Rosa Rahmania))

Memberi sebanyak yang kita mampu, lalu kita akan menerima sebanyak yang kita butuhkan! InsyaAllah(Luluk Evi Syukur)

Ide-ide gila, butuh orang gila juga untuk mewujudkan semuanya. Demi bumi dan isinyam, baiklah. (Ana Falasthien Tahta Alfina)

Selagi sabar itu ada dalam diri maka selagi itu juga Allah akan mengujinya dan hanya mereka yang benar-benar sabar dapat dengan mudah mengatasi ujianNya (Luluk Evi Syukur)

Selepas ashar nanti Kutunggu di semenanjung hati, mendawai indahnya pelita, kala pelangi berbagi warna, selepas maghrib nanti, Kutunggu di ujung nadi, lantunkan kalam Illahi, hingga Isya hadir kembali (Khasanah Roudhatul Jannah)

Kawan, ingatlah dengan hidup ini, kadang kesusahan dalam mengarungi takdir membuat hidup kita di akhirat nanti menjadi lebih berkualitas. Dan Jangan lah berlebihan di kehidupan ini, karena takut-takut terasa hambar di akhirat nanti. So, Jadikanlah apapun itu tentang kehidupan, lalu rayakanlah dengan kesyukuran.(Adi Nurseha)

Memoar kehidupan yang tak berujung hingga kematian menjemput. Lantas sudah sampai di mana kisah kehidupan ditorehkan? (Luluk Evi Syukur)

Kau yang masih setia mengulum rindu, Kudendangkan senandung lagu merdu, Sebagai pengobat rindu di dada, Sebagai pelipur segala lara, Tersenyumlah sayang, Rindu ini pun masih terus membayang Untukmu duhai kekasih hati Sambutlah syahdunya nyanyian hati (Khasanah Roudhatul Jannah)

Jaga selalu hatimu (Rosa Rahmania)

Tak semua yang diinginkan dapat terwujud sesuai rencana. Pergi saat indah. Allah pasti punya rencana terindah dibalik semua ini. Hanya itu yang bisa menguatkanku saat ini (Yopi Megasari)

Senin, 25 April 2011

Bom itu Membuat Ayah Tersenyum


Bum….

Bunyi yang mengerikan bagi pendengaran manusia. Bunyi yang merontokan jiwa ksatria menjadi jiwa pengecut yang kecut. Goncangannya pun menggetarkan hati yang miris. Bahkan daya ledaknya menghamburkan tubuh anak Adam berkeping-keping. Darah menjadi cat warna merah yang mengerikan, hamparan daging membuat menggidik bulu kuduk. Dan asap setan menghembus berterbangan di angkasa kosong. Aku melongo tak karuan melihat fenomena itu. Lututku seakan lunglai dan ingin bersimpuh lemah di pelataran masjidku ini. Aku melihat para jama’ah terbirit-birit lari, ada juga yang meronta-ronta kesakitan dengan kaki putus, tangan berdarah, kepala memar dan lain sebagainya. Pokoknya suasana yang kurasakan seperti kiamat kubra yang sesungguhnya.

Aku berusaha menegakkan batinku, dan mencoba melangkahkan kakiku menuju bom yang baru saja meledak. Air wudhu masih bergelantungan bebas di wajahku, namun air wudhu itu akan terpental keluar karena desakan keringat gugup dari pori-pori tubuhku. Aku tau, inilah yang harus kulakukan, aku ingin berlari, dan memeluk orang yang kusayangi sambil bersimbah peluh air mata di dekapannya. Dan, saat kuberjalan sempoyongan menuju ke lokasi ledakan bom, perang batin dimulai di dalam jiwaku. Jiwa kotorku mengatakan Ayahku yang menjadi korbannya, dan jiwa yang baik mengatakan Ayahku selamat. Namun, aku tak menghiraukan perang batinku itu aku terus melangkahkan kaki mencari Ayah.

2 jam sebelumnya

“Alif…, sholat jum’at bareng Ayah yuk Nak!” Teriak Ayah di seberang dinding kamarku. Teriakannya khas, karena selalu berteriak jika mengajakku untuk melakukan kebaikan. Pernah Ayah berteriak guna membayar zakat di bulan Ramadhan yang lalu. Jika teriakannya tak disambut, maka sorotan mata marah dari Ayahku akan membuatku bertekuk lutut mengikuti perintahnya. Ah, itulah Ayahku kawan!, selalu unik dan menyeramkan, namun yang pasti baik.

“Iya Ayah!, Alif mau mandi dulu” Kubalas dengan teriakan kembali, maklum jika tidak teriak maka tembok gagah dan pintu pelit menutupi seluruh rongga yang tak akan meloloskan suaraku, sehingga jika berkata dengan volume yang seadanya, sudah pasti Ayah tak mendengarnya, apalagi usianya sudah menginjakkan 50 tahun, kupingnya mulai swasta, sehingga perlu tarikan suara yang lebih tinggi agar ayah mendengarnya.

Air segar menyisir tubuhku, aku berusaha berjingkrak-jingkrak untuk menghapus semua penatku. Aku mandi dengan riangnya, sabun, sampho, sikat gigi, kugosokkan di bagian-bagian tubuhku tertentu, agar sempurna mandi sunnah muakaddah shalat jumatku ini, sehingga shalat jumat kali ini bisa lebih khusu dan menikmati sayyidul ayyam-nya umat Islam.

Kulihat terik mentari menyembul di bagian awan, menyubit pipiku dengan sengatan sinarnya. Mataku pun tak sanggup membalas sorotan mentari yang tepat berada di ubun-ubunku. Andai, mentari bisa kukecilkan daya panasnya, maka akan kulakukan, tetapi nyatanya tak bisa, hanya usapan tanganlah yang bisa kulakukan untuk menghindari guyuran keringat yang mulai berduyun-duyun nongol dari permukaan kulitku. Sejadah butut yang kubawa pun kupakai sebagai alat alternative untuk menangkis serangan mentari, sehingga rasa nyaman akan hadir sejenak di kepalaku.

Aku berjalan bersama Ayah dengan langkah kaki berirama sedang menuju masjid kesayanganku. Tak biasanya, hari ini Ayah tampak bersinar wajahnya, harum minyak yang dipakai Ayah membuatku bangga menjadi anaknya, sorot matanya pun tampak anggun berbinar. Tangannya yang kasar, maklum buruh pabrik, meraih tanganku, entah ada apa, yang pasti Ayah seakan menspesialkanku hari ini, sekali lagi tak biasa.

Tak ada sesuatu yang kurasa, namun yang pasti dekapan tangannya di tanganku membuatku nyaman sekali berjalan dengan Ayah yang kusayangi. Ayah adalah sosok idolaku. Banyak hal yang bisa kupetik dari kehidupannya yang penuh dengan kesabaran dan kerja keras. Menjadi seorang Ayah bukanlah tugas yang amat mudah, perlu keanggunan hati dan keteguhan jiwa agar bisa membuat keluarga harmonis dan indah. Ayahku tak mau berego, apalagi demi kesenangan, beliau sangat mengutamakan kebahagiaan istri dan anak-anaknya yang berjumlah lima orang walaupun beliau harus jungkir balik untuk memetik kebahagiaan keluarganya.

Masjid Nurul Jannah, anggun dan kokoh. Bangunan berarsitektur Turki membuat imajinasiku meluas ke negri Kamal Ataturk itu di daratan Eropa sana. Seakan kuberada di kehebatan kesultanan Utsmaniyah pada pertengahan abad ke dua, yang memiliki kekuatan superior di dunia kala itu. Kulangkahkan kakiku dipelataran masjid itu, dan kusambung dengan shalat sunnah tahiyyat masjid dengan dua rakaat. Takbir pun terlantun dimulutku, dekapan sepi menyongsong pikiranku, hanya lafal Allah yang tersimpan dalam benakku. Ayah pun sama, bergerak sesuai dengan irama penghambaan kepada Tuhan, seakan-akan ini adalah ibadah terakhirnya, khusu dan penuh kedamaian.

Kami pun berzikir bersama sambil menunggu adzan jumat berkumandang. Terlihat tetesan air mata ayah jatuh di sarung warna hijaunya yang lusuh. Isakan tangisnya pun lirih. Aku tak tau apa yang dirasa saat itu, mungkin kehalusan hatinya yang membuatnya begitu mudah untuk menangis. Aku hanya bisa terdiam dan berkata dalam sanubariku tentang kesyukuranku atas karunia Tuhan yang menjadikannya sebagai ayahku, entah apa jadinya jika aku terlahir dan memiliki Ayah yang tak sepertinya, mungkin saat ini aku tak di sini, yang pasti aku bangga dan bersyukur menjadi anaknya, sungguh Ayah idaman bagiku.

“Ayah” suaraku memecahkan semedi Ayahku. Namun itu harus kulakukan, karena aku takut Ayah mencariku.

“Iya?” suara lirihnya bergema, wajahnya melongok ke arahku dengan guratan mata yang merah pekat sambil membereskan sisa-sisa air mata yang masih bergelantungan di pipinya.

“Ayah, Alif ingin buang air kecil”

“Ya udah sana, hati-hati ya. Maaf kan Ayah ya” jawabnya dengan senyum yang mengembang dari kedua bibirnya.

10 menit kemudian.

Aku tak melihat Ayahku. Aku mencari-carinya. Tak kutemukan. Dalam reruntuhan dinding dan atap, kumelihat sejadah Ayah berserakan berkeping-keping. Lalu kumelihat wajah Ayah tergencet balok yang besar, dengan luka yang terdapat di sekujur tubuhnya yang berlumur darah segar.

“Ayaaaaaaaaaaaaaaah…” jeritku. Aku tak menyangka, ini takdir perpisahan aku dengan Ayah. Air mataku tumpah ruah di pelataran pipiku. Dengan seonggok tenaga, kudekati Ayah sambil menangis hebat. Aku tak kuasa menahan sakit dan pilu ini. Hanya buaian air mata yang mampu mengobati laraku yang tak menentu. Sekarang, di depanku, Ayah yang kubangga kan telah mengembuskan nafasnya di Masjidku ini. Terlihat senyum wajahnya masih menganga, aku tau Ayah, engkau
khusnul khatimah. Kata maaf yang kau ucapkan tadi adalah kata terakhirmu. Kepeluk mayat ayah, dan kucium ta’zim tangannya. Sambil kuucapkan lirih,

“Maafkan anakmu ini Ayah jika belum menjadi anak yang berbakti kepadamu” tambah deraslah air mataku, tiba-tiba kepalaku pusing tak karuan, lalu gelaplah mataku, tubuhku pun jatuh tak berdaya digundukan reruntuhan, yang kurasa hanyalah tangan-tangan penolong membantuku keluar dari masjid itu dan membawaku ke rumah sakit terdekat, ternyata aku pingsan tak sadarkan diri.

Ayah, sekarang kau tiada. Wangi parfummu tak terasa lagi di hidungku, tubuh yang kokohmu tak terlihat lagi di mataku, suara teriakanmu tak terdengar lagi di telingaku, dan tangan kasarmu tak kurasa lagi ditelapak tanganku. Namun yang pasti, kebaikanmu dan pendidikan yang kau ajarkan kepadaku adalah yang terindah dalam kehidupanku sehingga akan kutanam di jiwa ini selamanya, terima kasih Ayah. Hanya sebuah doa dan kata selamat jalan kupersembahkan untukmu Ayah. Aku berharap kita berjumpa lagi di alam berbeda, dan kuakan memeluk tubuhnya tanda bakti dan sayangku kepadamu Ayah.

Kawan!, nikmatilah kehadiran Ayahmu saat ini. Perhatikan dan lakukanlah yang terbaik untuknya. Karena sosok Ayah adalah pembimbing keluarga yang berjiwa ksatria, tanpa lelah dan mengeluh, jangan sampai mengecewakannya. Buatlah ia tersenyum dan bahagia, walaupun sekarang ia terbaring di alam barzakh, seperti kisah Alif ini. Dan Alif pun ingin melihat senyum Ayah walaupun beda alam.

Oleh: Adi Nurseha (Profile)

Artikel yang berkaitan



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Photobucket
 

Karya Tulis

Refleksi 02 Mei 2011

Ini hanya bagiku, entah bagi yang lainnya. Setiap hari orang-orang science mempelajari banyak simbol, dari alfabet hingga numerik atau beragam bentuk yang memang sengaja diciptakan sedemikian rupa. Aku tahu simbol-simbol tersebut sengaja diciptakan untuk

Kisah Kehidupan

Demi Sebuah Amanah

Telah lama aku berdiri di sini, di antara keramaian dan hiruk-pikuk terminal Pulo Gadung. Namun tak satupun bus antar kota yang mau berhenti dan membawaku meninggalkan kebisingan ini. Hampir satu jam lebih aku di sini, tapi semua bus antar kota nampaknya penuh semua.

Sastra

Cinta Dalam Hati ( CIDAHA )

Kala cinta datang menggoda Memanggil dan mengetuk pintu hati Lalu singgah ke rumah jiwa Tanpa kata permisi Hhm... Terdengar begitu syahdu menyentuh kalbu Namun, jika ini benar cinta Jangan biarkan cintaku padaMu hilang di hati Perkenankanlah tuk selalu mencintaiMu

© 3 Columns Newspaper Copyright by Website Nathiq | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks