Rabu, 27 April 2010. 11:12 AM
“Saya tidak mengatakan ini salah, saya pun juga tidak menyalahkanmu, hanya saja ini tidak tepat. Saya hanya butuh waktu. Bersabarlah sejenak!!! Jika memang dirasa sudah tidak sanggup, ikhlaskan saja semuanya, ini bagian dari kisah kehidupan yang harus disyukuri. Namun jika dirasa sanggup 'MONGGO', sekali lagi ikatan ini bukanlah ikatan yang disyahkan jadi sewatu-waktu jika mau mundur silahkan dan ikhlaskan” Send Muslih.
Penggalan SMS yang saya layangkan untuk seseorang yang selama 5 tahun ini menunggu saya membuat saya berpikir berulang kali pagi ini untuk mengirimnya. Tepatnya semenjak 2005 silam, dia mencoba mengajak saya untuk menjalani hubungan yang menurut saya tidak jelas statusnya. Waktu itu saya hanya menawarkan dia untuk mendatangi langsung orang tua saya dan dia mengiyakan itu. Persis seperti yang dia katakan pada saya bahwa katanya dia tertarik pada saya dan kelak akan menikahi saya, begitu juga dengan apa yang dia katakan pada Bapak dan Ibu saya satu bulan setelah dia menerima tantangan saya.
“Biarkanlah berjalan apa adanya, maaf saya masih belum siap jika saat ini harus menikah” Ujar saya 3 tahun lalu saat dia mencoba untuk mengajak nikah.
“Beri aku alasan konkrit Din kenapa belum siap?” Tanyanya
“Hmmmm… entahlah hanya saja saya belum siap untuk meninggalkan orang tua saya begitu cepat sedang saya belum melakukan sesuatu yang membuat Bapak-Ibu bahagia” Saya yakin ini alasan paling jitu untuk membuatnya diam bertanya.
“Setelah menikah aku gak akan menghalangimu untuk mencapai rencana hidupmu dan aku juga gak akan menghalangimu untuk meneruskan pendidikan kejenjang yang lebih tinggi”
“Mus…. Saya mohon beri saya waktu. Jika kamu sabar insya Allah saya gak akan ke mana” Saya memang selalu cerdas untuk membuatnya diam. ^_^
Terakhir kalinya dia mengajak saya menikah 3 tahun lalu, awal tahun 2009. Hampir setiap bulan setelah proses menyatakan sukanya tahun 2005 pertengah bulan, dia selalu menanyakan kesiapan saya menikah dengannya, dan kadang saya tak meresponnya karena saya yakin dia paham jawaban saya yang tidak pernah berubah. Pernah suatu saat dia mendatangi saya ke rumah kos saya yang hanya ingin melihat respon saya saat menolak diajak menikah, padahal jarak tempat tinggal kami tidak kurang dari 12 jam.
“Din... apa setelah aku ke sini kamu akan bersedia?”
“Mus... saya akan menjawabnya jika saya benar-benar siap”
“Sebenarnya apa yang kamu tunggu Din?”
“Saya hanya ingin membangun rumah tangga dengan kesiapan saya Mus, siap secara lahir dan batin. Bagi saya pernikahan adalah janji suci saya pada Allah yang disaksikan oleh banyak orang, mana mungkin separuh agama yang ingin saya sempurnakan ditaruh dengan ketidaksiapan saya?”
“Tapi Din…”
“Jika kamu masih bersabar insya Allah saya akan datang, tapi jika sudah tidak sanggup lagi apa saya berhak menghalangimu untuk pergi?”
“Hmmmm… Baiklah dengan itu kamu sebenarnya masih ingin aku tunggu Din”
Hingga 2011 datang dan studi sarjana saya selesai, dia kembali nekat mendatangi orang tua saya di rumah. Kali ini dia didampingi oleh kakak tertuanya dan adik bungsuhnya. Bapak dan Ibu saya memang sudah sejak awal menaruh hati pada pria ini bahkan sejak awal tidak pernah melarang saya jika saya menikah dengannya. Menurut Bapak dan Ibu, pria ini santun dan bertanggung jawab, entah tau dari mana padahal baru beberapa kali berinteraksi secara langsung. Bisa jadi apa yang dia tonjolkan di depan Bapak dan Ibu hanya ingin mencari perhatian saja. Atau mungkin sifatnya hanya sementara karena ingin mengambil hati Bapak dan Ibu. Saya sedikitpun tidak terpengaruh dengan itu.
“Nak, bagaimana keputusanmu?” Tanya ibu setelah itu.
“Bu, bukannya Ibu tau kalau Dina belum siap hingga saat ini”
“Din, usiamu sudah cukup untuk melangkah kejenjang berikutnya, Bapak-Ibu ridha untuk itu, dia pria baik” Bapak angkat bicara kali ini.
“Iya Din, apa yang kamu tunggu sebenarnya? Bukankah dia sudah 5 tahun menunggumu?” Tanya ibu lagi
“Dina tidak pernah menyuruhnya menunggu Bu”
“Nak, laki-laki itu jika ditolak terus menerus akan merasa penasaran. Apalagi jika alasan yang diberikan menurutnya tidak masuk akal. Sekarang alasan apa lagi yang akan kamu berikan din? Tidak siap lagi?” Bapakku mulai merayuku.
“Bagi Ibu dan Bapak gelar sarjanamu sudah cukup, bukankah dia juga menawarkanmu posisi di yayasannya setelah kamu menikah dengan dia kelak?” Kata ibu.
“Ingat lho ya Din, perempuan itu kalau sendirian lebih baik dijaga oleh Mahramnya dari pada sendirian ke mana-mana” Bapak menambahkan lagi.
Ya Allah kenapa hingga saat ini sepertinya berat jika harus menikah. Saya benar-benar tidak siap. Entah kenapa. Bukan saya tidak tertarik pada pria itu, bahkan jika dicari celanya saya nyaris tidak menemukannya. Sejak awal dia memang lelaki santun yang dikenal di Pesantren saya. Apalagi beberapa kali dia menjadi ketua Pondok yang dipercayai banyak orang, terlebih guru-guru kami. Selepas dari pesantren dia melanjutkan studi di sebuah perguruan tinggi Al-Quran dan langsung menjadi salah satu pengajar di sana selepas kuliah. Ukuran IQ-nya sungguh tidak ada yang meragukannya lagi.
Ya Allah apa ketidaksiapan ini hanya karena dia jauh lebih sempurna dari pria-pria yang lain? Tapi bukankah setiap manusia memiliki kekurangan? Tapi saya benar-benar jauh lebih kecil dibanding dia. Dia pintar dalam urusan al-Quran, sedang saya bisa mengaji saja al-hamdulillah. Dia pria terpandang di mata masyarakat tempat tinggalnya karena keahliannya dalam bersosialisasi, sedang saya hanya wanita rumahan yang kadang tidak kenal siapa-siapa di kampung saya. Bahkan mungkin piagam penghargaan berjejer di tembok rumahnya, sedang saya bisa melanjtkan pendidikan saja sudah sangat luar biasa.
Solli wasallim ya Robbi ‘ala nabiy sayyidina, dering ponsel yang dibawakan oleh Sulis berbunyi tanda pesan masuk, ah dini hari siapakah yang mengganggu konsentrasi saya.
Pesan Masuk dari Muslih. “Din, mudah-mudahan ikhtiarmu dimudahkan untuk menjawab tawaranku tempo hari”
Balas. “Amin”. Send Muslih
Solli wasallim ya Robbi ‘ala nabiy sayyidina. Pesan masuk dari Muslih. “Amin. Banyak-banyak istighfar Din”
Balas. “Makasih, inysa Allah. Boleh saya nanya sesuatu?”. Send Muslih
Solli wasallim ya Robbi ‘ala nabiy sayyidina. Pesan masuk dari Muslih. “Silahkan”
Balas. “Kenapa kamu memilih saya?”. Send Muslih.
Solli wasallim ya Robbi ‘ala nabiy sayyidina. Pesan masuk Muslih. “Din, setiap orang berhak memilih siapa yang kelak akan mendampingi hidupnya. Aku memilihmu karena aku ingin kamu”
Balas. “Maksudnya?”. Send Muslih.
Solli wasallim ya Robbi ‘ala nabiy sayyidina. Pesan masuk dari Muslih. “Aku butuh kamu untuk mengarungi kehidupan selanjutnya, bukan karena aku tidak mencoba mencari selain kamu Din, sempat beberapa kali aku mencoba tapi aku butuh kamu”
Balas. “Butuh untuk apa”. Send Muslih
Solli wasallim ya Robbi ‘ala nabiy sayyidina. Pesan masuk dari Muslih. “Karena aku yakin kelak keturunanku akan seperti kamu. Aku butuh karena keturunanku Din. Jika kau mengiyakan menikah denganku maka kamu akan tau jawaban sebenarnya Din”
Balas. “Aku belum siap Mus”. Send Muslih.
Solli wasallim ya Robbi ‘ala nabiy sayyidina. Pesan masuk dari Muslih. “Siap itu masalah ikhtiar Din. Aku yakin selama ini kamu belum mencoba untuk siap. Aku yakin kamu memang tidak pernah mempersiapkan untuk menyambut peluang menikah denganku Din. Aku bahkan yakin urusan tawaran menikah menjadi urusan terbelakang bagimu selama ini Din. Kesiapan itu proses yang harus dipupuk sejak awal Din. Seperti kita hendak sekolah, bahwa sebelum sekolah kita harus mempersiapkan seragam, buku, alat tulis, sepatu dan sebagainya. Jika kita tidak siap semua itu maka kita tidak bisa sekolah karena jika memaksa maka di sekolah akan terhambat menerima pelajaran guru. Sama dengan pernikahan din. Mulanya kita harus meimliki persepsi positif terhadap konsep pernikahan, setelah itu perlahan kita ikhtiar mencari calon pendamping hidup dengan membuka diri terhadap siapa saja yang ingin”
Balas. “Terimakasih Mus”. Send Muslih
Solli wasallim ya Robbi ‘ala nabiy sayyidina. Pesan masuk dari Muslih. “Lalu kapan aku bisa menerima jawabanmu”
Sengaja kugantungkan begitu saja pesan terakhir dari Muslih. Air yang keluar dari mata begitu deras. Benarkah saya tidak mencari kesiapan itu? Lalu apakah selama ini saya mendzalimi Muslih dengan jawaban saya yang menggantung? Ya Allah.
Satu bulan kemudian. Rabu, 27 April 2010. 11:12 AM.
Innalillahi wa inna ilaii roji’un, Ibu saya pulang selamanya menghadap yang maha agung. Tidak sempat saya memberi tau kesiapan saya untuk menikah, Ibu kecelakaan tabrak lari di depan stasiun setelah pulang dari berjualan. Tujuh hari di ICU tidak membuat Ibu stabil dan saya sangat kehilangan.
Solli wasallim ya Robbi ‘ala nabiy sayyidina, Pesan masuk dari Muslih. “Din, adakah kamu sudah mepersiapkan jawabannya?”
Balas. “Mus, tidak bisakah menunggu beberapa hari lagi?”. Send Muslih.
Solli wasallim ya Robbi ‘ala nabiy sayyidina, Pesan masuk dari Muslih. “Apa saya salah memintamu menjawab sekarang Din? Apa karena Ibu pergi kamu semakin mengulur waktu Din? Kamu sudah lama membuatku menunggu”
Balas. “Saya tidak mengatakan ini salah, sayapun juga tidak menyalahkanmu, hanya saja ini tidak tepat. Saya hanya butuh waktu. Bersabarlah sejenak !!! Jika memang dirasa sudah tidak sanggup ikhlaskan saja semuanya, ini bagian dari kisah kehidupan yang harus disyukuri. Namun jika dirasa sanggup "MONGGO", sekali lagi ikatan ini bukanlah ikatan yang disyahkan jadi sewatu-waktu jika mau mundur silahkan dan ikhlaskan. Seperti yang kamu bilang waktu itu, persiapan itu harus kita latih begitu juga dengan kesiapan menerima keputusan ini Mus, kita harus melatihnya”. Send Muslih.
*Terispirasi dari kisah seorang sahabat yang bertahun-tahun lamanya menunggu jawaban seorang wanita yang sedang menjalani studi di luar negri dan akhirnya hingga kini sahabat saya masih menunggu jawaban itu. Bagi siapa saja yang mengalami kisah serupa dengan diatas, atau agak mirip atau mungkin lagi berminat menjalani kisah itu ^_^ Satu kuncinya, bahwa KESIAPAN ITU MEMANG HARUS DILATIH, siap mencintai itu berarti siap untuk tidak dicintai, siap membenci itu sama juga harus siap disukai, siap menikah itu juga harus siap dengan rumitnya rumah tangga, siap melanjutkan studi harus siap dengan semakin mahalnya biaya studi, siap jadi koruptor berarti siap menjalani masa tua di jeruji besi dan lain sebagainya.
Satu lagi, siap menulis juga harus siap tulisannya akan diberikan masukan bahkan mungkin tulisannya tidak dibaca orang lain dan malah menjadi bungkus kacang dan kerupuk yang dijual dipasar ^_^
Oleh: Luluk Evi Syukur (Profile)
Ungkapan Mutiara
Kamis, 28 April 2011
Kesiapan itu Harus Dilatih
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar