Malam disinari rembulan di sudut langit, terlihat begitu berkesan. Lalu lalang awan hitam mewarnai sang rembulan. Desiran angin khas terasa menyisir sarung yang kupakai. Lambat laun kumulai suka dengan nyanyian alam ini. Musim kemarau mungkin akan melongok manusia yang tinggal di negri Jamrud Khatulistiwa ini, terbukti angin dengan kecepatan tinggi kadang mewarnai pelataran mushalla mungilku, sehingga debu dan sampah kadang beritikaf khusu di mushallaku itu. Namun, aku suka, karena dapat menyaksikan fenomena alam yang indah. Suara gesekan daun membahana, ranting bertabrakan dengan riangnya, sampah plastik bergoyang menjingkrak di alam semesta, membuat suasana begitu riuh rendah dan mempesona.
Malam itu terasa begitu istimewa, setelah kumengajar mengaji di mushalla mungilku itu, aku bergegas pulang, setapak demi setapak kulalui di jalan yang bergelombang dan agak becek, tiba-tiba dalam perjalanan.
Teng-teng-teng-teng
Bunyi itu sedikit mengagetkanku. Bunyi yang tepat bersumber dari belakangku. Aku tahu, bunyi itu akibat tumbukan antara mangkuk dengan sendok. Bunyi yang seakan menebas kesunyian malam yang gelap, seperti tebasan suara para kiyai yang merontokkan para durjana yang bergelimang dosa. Bunyi itu pun yang mampu mengalihkan pandanganku ke belakang. Aku melihatnya, dan ternyata seorang bapak tua yang sedang memikul harapan rezeki dipundaknya yang mulai rapuh dan lusuh itu. Ya, seorang bapak tua yang berjualan sekoteng.
Jalannya begitu semangat sekali tak ada rasa lelah yang nampak, tak menghiraukan beban yang berada dipundaknya. Dengan topi butut yang berada di kepalanya, sembari tangan kanannya mengetuk-ngetuk sendok ke mangkok sebagai alarm khas penjual sekoteng. Yang aku tahu, beliau berumur lebih dari lima puluh tahun, hal itu tampak dengan banyaknya guratan dan rambut putih yang mengeroyok seluruh tubuhnya
“De, sekoteng?” dia menawariku dengan hangat sambil matanya yang sayu menatapku sedikit tajam.
“Oh… ya pak, boleh, satu mangkuk ya pak” kubalas sorotan matanya dengan senyumanku yang ringan. Lalu ia pun tersenyum, sambil handuk yang membelenggu lehernya diusapkan ke jidatnya yang banjir dengan peluh keringat.
Dengan sergap, bapak tua itu mengambil mangkuk, dan meramu sekoteng agar enak di makan olehku. Aku sempat tersenyum dalam hati, di tengah perjalanan kumenemukan seorang yang membuatku takjub, walaupun kuharus berhenti sejenak untuk memakan sekotengnya. Entah syndrome apa yang bergelanyut dalam hatiku, semenjak aku mengenal dunia dengan segala kejadian-kejadian yang membuatku berpikir, aku sering sekali merasa takjub dengan orang-orang yang membanting tulang seperti bapak tua yang satu ini, dahulu aku sering takjub dengan tukang becak, tukang bakso, tukang kuli, sampai tukang penjual areng. Aku salut dengan sosok-sosok mereka, bahkan tak jarang pula aku malu dengan kegigihan mereka dalam mencari rezeki di dunia ini sebagai rasa bersyukur kepada Tuhan.
“Pak, dari mana aslinya?” kumulai membuka pembicaraan agar malam yang sunyi itu terhampiri dengan kalimat silaturahmi.
“Dari Ciamis de, klo ade sendiri dari mana aslinya” Persis seperti asal daerahnya, logat bahasa sunda menempel lekat dalam lidahnya, seperti biasa orang sunda selalu menghadirkan keramahan dan kesopanan dari cara bertutur bahasa.
“Saya dari Cirebon pak, tapi sudah lama di Bekasi, bapak dari jam berapa jualan pak?” kucoba melanjutkan wawancaraku dengan bapak tua ini. Aku ingin menyerap ilmu kehidupan darinya dengan pertanyaan-pertanyaanku. Kumelihat wajahnya merunduk sambil terlihat malu-malu menjawab pertanyanku yang terlihat simple.
“Dari jam 4 sore de” jawabnya singkat
“Oh… terus sudah berapa yang beli pak?” kucoba bertanya yang sedikit rahasia, maklum ingin tau dan mengerti bagaiamana perjuangan hidupnya.
“Mmm… Alhamdulillah sudah dua yang beli, ade orang yang ketiga yang membeli sekoteng saya” senyumnya kembali lepas, sambil merunduk dan memberikan semangkuk sekoteng kepadaku.
Ya Allah… dari jam 4 sore hingga kini jam 9 malam ia baru mendapatkan pelanggan tiga. Namun, bapak tua ini masih berkata “Alhamdulillah”, tanpa ada kata mengeluh sedikit pun. Raut wajahnya yang tampak terlihat bahwa bapak tua ini sangat ikhlas dengan takdir hidupnya saat ini. Sekali-kali kumelihatnya saat kumenikmati sekoteng, tampak ia membereskan peralatan yang sudah dipakai, dan kadang ia melepas keletihannya dengan menghirup udara dalam-dalam.
Kawan, lihatlah bapak tua ini yang sanggup mengarungi bukit kehidupan yang kadang tak selamanya indah. Kadang pula bukit membuat orang merasa was-was, dan tak banyak orang yang tergelincir ke dalam kawah yang mengerikan. Itu lah kehidupan Kawan, laksana berjalan di ujung bukit, indah namun sering kali rintangan menghampiri. Dan hanya orang yang gigih dan kuatlah yang sampai di stasiun keindahan yang sejati. Orang yang kuat bukanlah orang yang bisa mengangkat berton-ton besi, atau bukan juga orang yang pasrah yang mau mengangkat beban penderitaan kehidupannya, namun yang kupahami orang yang kuat adalah orang yang seperti bapak tua ini, yakni yang menjalankan kehidupannya tanpa mengeluh, bahkan bersyukur dan penuh jiwa kesabaran dan ketawakalan, inilah kesatria sejati Kawan!
Awan mulai menyingkir di pelukan rembulan, sehingga membuat rembulan pun melotot dengan cahaya yang menawannya, saat kumenatap ke langit-langit tampak rembulan tersenyum, senyuman rembulan itu kuyakin dibingkiskan kepada bapak tua itu, rembulan rupanya bangga dengan bapak penjual sekoteng ini. Jarang dan bahkan langka orang yang seperti ini, sehingga rembulan pun ikut takjub di porosnya.
Kusodorkan uang untuk membayar satu mangkuk sekoteng, ucapan terimakasih lah yang terucap dari mulutnya yang sunyi. Hanya sebuah doa yang bisa kupersembahkan kepadanya, doa yang kuungkapkan dalam relung hatiku yang terdalam, doa sebagai makhluk Allah yang penuh dengan pengharapan, dan doa dari hamba yang lemah dan penuh dosa ini, “Ya Tuhan, kutau takdirMu adalah keindahan, semua orang akan berjalan dengan takdirMu yang kadang membuat orang murka, senang, maupun bahagia, namun yang pasti Tuhan, bapak tua penjual sekoteng ini menjadi saksinya bahwa ia amat bangga dalam mengikuti takdirMu, maka kumengharapkan kepadaMu agar Engkau selalu memberi ketabahan hati dan kekuatan jiwa untuk selalu tersenyum dalam rentetan takdirMu, amin”.
Oleh: Adi Nurseha Saduki (Profile)
Ungkapan Mutiara
Senin, 18 April 2011
Rembulan pun Ikut Takjub di Porosnya
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar