Teruslah menjejak pasir-pasir dalam angkasa lamunan, membumbung, memuncak menanggalkan beban di pundak, mengayuh setinggi-tingginya kesenangan, meramu mimpi di kutub bumi pagi ini. Sesosok bocah masuk saja tanpa salam apalagi permisi, wajah kusamnya jelas terlihat dalam balutan pakaian yang telah memudar warnanya, ada sedikit sobek di bagian bahunya. Bocah perempuan berusia sekitar 3 tahunan. Aku sedang sendiri di ruang tamu rumah bunda setelah tadi sempat berisik oleh keponakan dan teman mainnya yang pergi sejenak setelah kuberikan uang untuk jajan. Mainan rumah-rumahan dan boneka serta masak masakan masih mereka biarkan di sudut ruang, dan anak kecil ini? masih asing, padahal anak-anak tetangga rumah bunda nyaris semua kukenal.
"Siapa dia yang hadir tanpa salam apalagi permisi (hehehe namanya juga anak kecil). Ah mungkin dia salah satu teman main Hesty keponakanku" pikirku dan biarin saja dia mengacak sejenak mainan lalu mengambil sepeda dengan riang terpancar di wajahnya kini. Membunyikan bel sepeda tanpa menganggap aku ada menatap tingkah polahnya. Aku hanya tersenyum dan dia sesaat menatapku asing. "Ini mahluk siapa sih? loe ngapain liat-liat gw?", mungkin itu dalam benak pikirnya. hehehe
Sesaat jeda, purnama di ujung mata memecah buih di angin, melabuhkan segenggam asa dalam bukit-bukit menjulang ke awan, hingga membayang udara dalam tarikan nafas.
"Heiiii! Lusie?" Suara mungil dari depan pintu mengalihkan pandangku sesaat,
"Ni anak-anak pada main masuk aja tanpa salam lagi, hehehe gue jewer juga ntar, untung loe-loe pada anak orang, hehehe jadi gak apa-apalah" Aku maklumi, suara itu kuanggap biasa, tapi hufff, bocah tadi? keceriaannya menguap entah kemana, seperti terdakwa kasus korupsi milyaran, reflek dia turun dari sepeda, wajahnya diselimuti ketakutan, si Nina langsung memeriksa mainan mereka tadi seolah mengecek barangkali ada file yang kehapus,"Ciyee berat ni anak-anak TK,hehehe" Si Nina aku kenal, dia teman sekolah Hesty, anak salah satu tetangga yang kebetulan seusia dengan keponaanku si Hesty.
"Ke mana?" Tanyaku pada Nina.
"Lagi nunggu kembalian Om" Jawabnya tanpa menoleh kepadaku (lagi-lagi aku dicuekin hehehe).
Terdengar langkah ringan, tanpa melihat kupastikan si Hesty datang.
"Assalamualaikuuuuuuum" Suara itu dibarengi tawa khasnya, tangannya dipenuhi snack, sementara matanya langsung tertuju pada Nina kemudian mengalihkan pandangannya kepada bocah yang kini ternyata telah merapat ke dinding, matanya seakan bicara "Om lindungi aku please? hehehe". Akankah si Hesty ikut murka?
"Ty masakan kita di tumpahin Lusie, boneka barbie gak ada?" Anak itu seakan tersadar sontak melepas kedua boneka kecil segenggaman tangan yang langsung dirampas Nina.
"Ihh kau ini pulang kau!!!, si Lusie kalau datang pasti mainanku ada yang hilang" Sungut Hesty.
"Kalau mau main jangan dibawa pulang tanpa bilang pinjam, nanti mainanku kurang terus, dasar pencuri" Sambung Nina lagi. Hah... Aku tersentak, anak-anak ini? dan bocah itu.
"Diajak main Ty kasian dia gak punya mainan" Suara kakak dari ruang tengah.
"Malas ama diakan masih kecil" Jawab Hesty sok tua, padahal hanya bertaut 2 tahun mungkin. Lalu dia menatap ke arahku.
"Si Lusie main sepeda aja" Kataku melerai pertengkaran kecil itu. Akhirnya dia mengambil solusi sendiri, anak itu tanpa ba bi bu, kembali terlihat riang dan langsung naik kembali, aman pikirku sambil beranjak menemui kakak ke ruang tengah, menuntaskan penasaran siapa bocah kecil yang asing di pandanganku.
"Dia anak siapa Kak?" Tanyaku.
"Anak si Edo ,Dek. Tinggal di kampung istrinya"
Edo?, ya aku ingat, sejak SMP aku tak tau kabarnya, pernah terbersit kabar dia menikah dikarenakan kecelakaan, dan dia tinggal di kampung istrinya. Mungkin berapa kali puasa dan lebaran dia gak pulang pulang (Bang Toyib banget hehehe).
"Sekarang mereka sudah pindah ke kampung ini lagi, dengar-dengar ribut sama mertua, si Edo suka main judi, sementara istrinya kerjaannya kayak masih gadis Dek. Itu jadi omongan ibu-ibu sekitar sini. Kerjaannya turun rumah 1 naik rumah 1, ngatain orang ini itu, anak gak diurus, ikut orang noreh gak mau, gengsi, si Edo sekarang nganggur, kadang kasian liat anaknya, kalau liat kawan-kawannya jajan, dia hanya liat aja" Penjelasan kakak lumayan panjang, sebuah pelajaran yang bisa kupetik dari penjelasan kakak.
Cinta, apakah cukup bermodal cinta? Jika ingin berumah tangga? Tradisi di kampung memang terlalu sulit diubah, biasanya orang tua begitu mudah menikahkan anaknya di usia muda? asal ada untuk acara hajatan dan bayar penghulu maka langsung nikah. Pernahkah mereka terbersit pikiran bagaimana kehidupan setelah pernikahan? iya kalau anak mereka terlahir sehat? bagaimana jika anaknya sakit? bagaimana untuk biaya sekolah mereka nantinya?.
Kembali ke ruang tamu. Wajah cerah anak di atas sepeda, dengan nyanyian kecilnya. Ah bocah polos, kau buat aku semakin bertanya. Arus air di danau, kehidupan semakin beriak, sementara aku tau ini akibat pikir yang dangkal, ada apa dengan hidup ini? Masihkah ada tempat untuk harapan yang pulang dengan sesal!. Hai bocah cilik maafkan aku ingin bertanya, gerhana ataukah purnama kelak yang menunggu hari depanmu jika orang tuamu terus begitu?
22/03/201
Oleh: Muslimin (Profile)
Ungkapan Mutiara
Jumat, 25 Maret 2011
Gerhana atau Purnama
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar