Selalu saja resah menjarah kenangan, setiap kali kubaca episode keresahanmu, yang sering kau samarkan di hadapanku, sadarkah kau sobat kau kini rapuh? Semua ketegaran batinmu yang dulu selalu memukauku dan yang lain, kini kau asingkan di ruang hampa, ruang di mana hanya dirimu, sekeping hasrat, dan kesedihan yang risih bercengkrama, adakah embun masih menetes pada pipi-pipi pecinta dunia, aku ingin bertanya padamu sobat, kenapa pekat seakan begitu melekat kini, tapi kerongkonganku seakan tercekat, hingga tak satupun kata terucap, dan aku hanya mampu terbungkam!!!
Di Sajadah. Aku bertemu. Aku berbincang. Aku mengadu. Aku menangis, di sajadah sejuta doa kupanjatkan, aku merindui, sosok yang selalu kubanggakan dan jadi inspirasiku untuk tegar, untuk selalu berucap, hadapi apapun aku mampu, karena pertolongan Allah selalu dekat dengan hambaNya. Achhh sesungguhnya aku membenci keluahan, kenapa? Masih jelas dalam ingatanku saat abang tertuaku ajarkan aku untuk kuat, dia pernah berucap "Keluhan dan rintihan hanya untuk perempuan, rengekan dan tangisan hanya untuk anak kecil" Kau bungsu, tapi ingatlah kelak kita akan menemui hidup masing-masing, karena esok adalah misteri,belajarlah yang bisa kau pelajari, selagi itu punya nilai guna untukmu kelak dan semoga untuk sesama juga jika bisa.
Sahabatku, kuingin kau kembali, tegar dalam sikap sempurna, biarkan kisah cintamu yang kandas, terbang bersama angin yang tak pernah letih berlari, bukankah Tuhan selalu menyiapkan ganti ganda untuk semua keikhlasan hati? Dalam satu jiwa yang ramah, adilkah jika cintamu padanya mengabaikan, cintaNya, cinta ayah bunda, cinta sahabat, cinta sesama yang menyayangimu tanpa berpikir meninggalkanmu, tanpa pernah bandingkan kau dengan yang lain, tanpa pernah ingin kau terluka dan kecewa. Lalu, di mana adilmu dulu? Seperti juga kau yang bimbang menakar hati, kenapa dirimu enggan mengukur perasaan?
Biarkan gelombang berpaut pada Laut
Nyanyian semilir dedaunan
Gesekan ranting yang sendu penuh makna jadikan sebagai tumpukan galau hati
Lelaplah dalam keheningan sepi.
Aku tahu sewaktu-waktu engkau datang ke tempat itu
Ke mana lagi, jika bukan membawakan hatimu
Mencari apa yang tidak engkau dapat
Bagimu di sana langit, pantai dan desiran ombak
Sebuah bulan kuning bertengger di atasnya
Pada malam yang di dekap rindu
Menggantung...
Jauh-jauh engkau mencari tanpa bertemu
Untuk apa? Sadarlah sobat dia bukan untukmu...
Padahal bulan itu bertengger di cela-cela hatimu
Bintang-bintang akan menemanimu sampai tiba di ujung perjalanan
Segala tanda dan kepahitan getir sebelum runtuh dan kehilangan
Tak perlu kujelaskan semua
Karena yakinku kau mengerti
Aku hanya berharap kau segera pahami potensi diri
Bukan ratapi semua yang telah berlalu pergi
Seribu maaf jika tajam kataku, dalam gunting waktu yang membabat semua tanya yang menyumbat kepalaku sobat, aku tak ingin selamanya terpendam diam, dalam gamangmu, dalam penghakimanmu seakan kutak pernah peduli atas lukamu. Jangan jadikan aku dan sahabatmu bagai pesakitan di kursi persidangan yang hanya menunggu ketuk palu keputusan, biarkan kami juga rasa saat kau kecap pahitnya kecewa, saat kau reguk manisnya bahagia. Terlalu banyak tanya yang tak bisa terjawab sendiri tanpa bisa diterka ada apa sebenarnya.
06/05/2011:1:40 AM
Inspirasi menulis, saat baca status sahabat"Ya Allah sungguh aku cemburu... :( ..." Simbolnya menandakan keresahan, tapi dia menelannya sendiri, lalu di manakah mereka yang mengaku sahabatnya? Saat sahabatnya butuh tempat berbagi, acuhkah mereka?
Oleh: Moes Arsyil Ramadhan Afrilla (Profile)
Ungkapan Mutiara
Selasa, 10 Mei 2011
Ijinkan Aku Bertanya
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar