Senja mulai menyapa malam, aku tetap duduk manis pada tempatku sambil menatap aktivitas teman-teman di sekelilingku. Semua tampak sibuk mempersiapkan segala sesuatu untuk bekal pendakian malam itu. Para senior mulai menanyakan persiapan masing-masing pendaki yang tergolong masih pemula. Termasuk diriku.
"Non, jaketmu mana?" tanya seorang senior padaku.
"Ini yang kupakai" Kataku sambil menarik helai kain jaketku. Sementara kakak senior sepertinya tercengang.
"Hah...!!! Lo mau kondangan apa mau naik gunung? yang bener aja, masa naik gunung pakai jaket tipis gini, lo mau mati kedinginan?" Kata si senior sambil menahan tawa disusul lirikan dan senyum hampir semua pendaki yang ada di situ.
Aduh, jadi malu aku. Tapi aku cuma tersenyum saja mendengarnya. Sementara Ibu pembina mendekatiku sambil menyerahkan jaket yang dipakainya.
"Neh, kamu pakai ini, di atas tuh dingin, nanti kamu kedinginan" Katanya sambil menahan senyum.
"Waduh Bu, gimana dengan Ibu? ibu pakai apa?" Tanyaku heran.
"Tenang nanti Ibu cuma di post satu kok, Ibu gak ikut naik kok" Katanya menyakinkanku. Akupun segera menerima jaketnya dan tidak lupa mengucapkan terima kasih pada beliau.
Sesaat kemudian rombongan pendaki mulai bergerak melangkah menyusuri jalan setapak kaki gunung Slamet. Sesuai dengan anjuran senior, semua pendaki saling bergandengan tangan. Awal pendakian semua masih penuh semangat, masih segar, langkahpun serempak mantap dan kompak. Semakin tinggi mendaki, semakin sulit medan di daki, pertahanan fisik para pendaki pun tak lagi seimbang. Tangan yang semula saling erat bergandengan, kini satu persatu mulai terlepas. Para pendaki yang semula berjalan rapi seperti barisan ular kini telah tercerai-berai membentuk beberapa kelompok. Aku termasuk dalam kelompok yang melangkah paling depan.
Aku mencoba mengatur nafasku yang sudah sejak tadi mulai tersendat-sendat. Aku meminta teman-teman tuk berhenti sejenak. Begitulah, jika ada satu pendaki dalam kelompok itu kehabisan tenaga maka kelompok itupun segera berhenti tuk istirahat sebentar. Ini berlangsung terus-menerus sepanjang pendakian malam itu. Kebersamaan terasa begitu indah. Di sinilah kita bisa tahu karakteristik asli seseorang. Ketika kita hidup di alam bebas, ketika air dan bahan makanan susah didapat, ketika lelah dan haus datang menghampiri, sementara kita harus berbagi. Kebersamaan dan kesetiakawanan sangat dibutuhkan.
Malam terus beranjak, langkah kaki mulai terseok-seok, namun semangat tuk mencapai puncak tak jua surut. Desir angin malam lembut terasa. Dalam iringan gemerisik dedauanan dan derap kaki yang menginjak ranting-ranting kering yang berserakan. Kakak-kakak senior terlihat terus memberi semangat. Tak terasa malam beranjak pergi, langit yang semula gelap perlahan-lahan sedikit terang. Ternyata waktu telah menunjukkan jam tiga lewat waktu setempat. Tiba-tiba kawan-kawan yang satu rombongan denganku berteriak girang.
"Sedikit lagi sampai puncak, ayok percepat langkah kita, kita harus sampai di puncak sebelum matahari terbit." kata salah seorang senior.
Tanpa menunggu perintah lebih lanjut, semua bergegas tuk mendaki jalan yang sudah tidak beraturan itu. Jalan yang d penuhi dengan akar-akar pohon yang malang melintang. Terkadang harus melompati akar-akar itu, terkadang harus merunduk lewat di bawah akar-akar itu. Semua begitu semangat. Rombongan yang rata-rata teman-teman cowok itupun terus mempercepat langkahnya. Dan apa yang terjadi? Aku tertinggal jauh di belakang. Aku mencoba teriak memanggil, namun sepertinya sia-sia, mereka tak mendengar teriakanku. Karena sudah terlalu jauh. Punggung merekapun tak kelihatan. Suara langkah kaki mereka telah lenyap.
Tinggallah aku sendiri, melangkah dengan sisa-sisa tenagaku. Aku terus melangkah sendirian menapaki jalan di depanku tanpa alat penerang sedikitpun. Namun mataku masih bisa melihat jalan yang ada di depanku dalam keremangan malam itu. Bayangan ketakutan mulai menghampiriku. Bukan hantu yang aku takutkan, tapi bagaimana kalau aku ketemu harimau? Bagaimana kalau aku dicabik-cabik harimau? Team SAR pasti tak kan menemukanku. Ya Allah, lindungilah hambaMu yang lemah ini.
Tak henti-hentinya aku berdoa memohon keselamatan, hingga akhirnya nafasku seolah berhenti saat kudengar suara langkah kaki jauh dari belakangku. Langkah itu begitu cepat makin lama makin jelas. Namun tidak terdengar suara obrolan. Hatiku semakin was-was, jantungku berdetak makin cepat. Dalam kepasrahan kutetap mencoba dan berusaha tuk mempercepat langkahku. Dan tiba-tiba.
"Mbak, sendirian aja?" Lega hatiku mendengar suara itu.
"Iya." jawabku singkat. "Yang lain dah di depan dan sebagian masih di belakang." Kataku melanjutkan. Mereka ternyata 4 orang pendaki dari Bogor, cowok semua.
"Kami jalan dulu ya Mbak" Kata salah seorang dari mereka.
"Iya, silahkan" kataku sedikit berat. Akupun sedikit minggir tuk memberi jalan pada mereka. Satu persatu mereka mulai meninggalkanku dan dengan cepat melompati tanjakan yang ada di depannya. Tanjakan itu emang cukup tinggi sebatas dadaku. Dalam keadaan normal tentu saja aku bisa melompatinya, namun saat itu tenagaku benar-benar habis.
Baru saja aku ingin teriak minta tolong, salah satu dari pendaki itu membalikkan badannya dan mengulurkan tangan kanannya. Segera kuraih tangannya, dan dengan cepat dia menarikku.
"Makasih, Mas" kataku singkat. Dia pun tersenyum.
"Sama-sama Mbak, maaf kami jalan dulu, mau lihat sunrise." Katanya sambil berlalu meninggalkanku sendirian lagi. Tapi kali ini aku sudah sedikit lega, ketakutanku agak hilang, walau dikit-dikit masih dag dig dug kalau-kalau ketemu harimau, macan atau singa. hiiii... apa jadinya.
Langit tampaknya sudah makin terang walau masih dibalut keremangan malam. Samar terdengar suara ramai temen-temen yang bersorak kegirangan karena telah sampai di puncak. Hatiku makin tenang, suara-suara itu makin jelas terdengar. Kupercepat langkah kakiku. Akhirnya, sampai juga. Aku menginjakkan kaki di puncak gunung Slamet. Kulihat ke sekeliling, ternyata hampir tidak ada pepohonan. Teman-teman terlihat memainkan kameranya tuk mengabadikan keindahan sunrise di pagi itu.
Akupun turut menikmati keindahan pagi itu. Salah satu senior berteriak. "Hey lihat, itu puncak gunung Sindoro Sumbing. Sudah pernah kesana belum?" Tanyanya kepadaku.
"Belum. Dan gak akan pernah ke sana" Kataku menahan jengkel.
"Lho kenapa...?" Tanyanya heran.
"Naik gunung apaan, aku tadi kok ditinggal sendirian? Kalau aku ketemu macan gimana?" Kataku dengan sedikit mendelik. Eh dia malah ketawa.
"Hahaha... kamu kan galak abis. Macannya pasti takutlah ama kamu. Buktinya gak ada macan yang nemuin kamu kan?" Katanya sambil tertawa terpingkal-pingkal.
Sementara aku masih cemberut menahan rasa jengkelku. Saat itulah rombongan berikutnya mulai bermunculan meramaikan suasana pagi itu. Aku mulai menaiki bebatuan yang gersang tanpa tumbuhan.
"Non berhenti, jangan tinggi-tinggi, ntar kamu diterbangin angin." Kata salah seorang alumni yang sudah kuanggap seperti kakakku sendiri. Dia pun menyusulku dan duduk di sebelahku. Rambutnya yang panjang berantakan dimainkan angin yang bertiup cukup kencang.
"Kang, sini rambutnya tak rapiin" Kataku sambil melangkah dan duduk di belakangnya.
Kedua tanganku mulai membagi rambutnya menjadi dua bagian, lalu kuikat dengan menggunakan syal hijau miliknya. Teman-teman yang melihat spontan tertawa melihat pria gondrong dipita dua. Langsung saja salah satu dari mereka mengabadikan moment itu dengan kameranya.
Waktunya kembali ke basecamp di post satu. Semua beranjak meninggalkan puncak gunung Slamet. Semua bahagia, semua bernyanyi penuh ceria. Sementara aku menikmati suasana hatiku sendiri. Kini giliranku meninggalkan teman-temanku. Dengan cepat aku melangkah turun. Aku berlari di antara jalan setapak, dan aku duduk meluncur di atas rumput yang tumbuh menurun. Dua orang senior tersengal-sengal mengejarku, menyuruhku berhenti dan memperlambat langkahku. Namun aku tidak peduli aku terus meluncur layaknya anak kecil yang sedang bermain di playground.
Setelah semua sampai di basecamp kedua senior itu pun menghampiriku "Wuaduh non, kamu tuh, mentang-mentang kecil main pelorotan mulu. Kalau kamu jatuh ke jurang gimana?" Tanyanya padaku.
Dengan santai kujawab "Buktinya gak jatuh kan? suruh siapa semalam ninggalin aku sendirian?" Akhirnya semua ketawa.
"Ooo.... ngambek neh ceritanya, makanya main pelorotan?" Sambil gemes mengobrak-abrik rambutku.
*** Memory pendakian-I ke gunung Slamet ^_^
Oleh: Khasanah Roudhatul Jannah (Profile)
Ungkapan Mutiara
Minggu, 01 Mei 2011
Bukan Hantu yang Aku Takutkan, Tapi Harimau
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar