Suara salam dari depan pintu kamarku membuyarkan kosentrasiku yang asyik menuangkan sejuta cerita yang tak bisa kuucapkan lewat kata, bukan karena aku pemalu, bukan pula karena gagu bicaraku, tapi aku ingin menjamah dunia lebih luas, ya lewat tulisan seperti ini. Tidak mungkin mereka bisa mendengarkan suara teriakanku bercerita, jika mereka di sana aku di sini, alternatif memang ada yaitu via telepon, tapi selain mempertimbangkan biaya tarif, juga mempertimbangkan kesibukan masing masing tentunya, jika via tulisan, mereka bisa baca kapan saja jika punya waktu luang.
Bergegas bangkit kubukakan pintu, dan? "Woiiiiii kapan datang loe" Ujarku, menepuk bahunya, walau keanehan langsung bisa kulihat dari sosoknya yang kini di depan pintu. Dia langsung menerebos masuk dan melemparkan tubuhnya ke tempat tidur. Sejenak kutinggalkan dia untuk membuatkan sirup dan mengambilkan sedikit cemilan untuk teman mengobrol.
"Loe kapan datang sob" Tanyaku, ia bangkit dan duduk. Sekarang aku bisa melihat wajahnya dengan jelas. Matanya cekung dengan sedikit garis hitam menandakan dia sering begadang atau kurang tidur, kulitnya juga kusam, dengan kumis tipis dan jenggot yang tampak tidak terurus, rambutnya juga sudah mulai agak panjang, sangat kontras dengan sosoknya yang biasa, yang selalu tampil rapi, wangi, dan bersih, serta gelak tawa canda setiap kali dia datang.
Dia menatapku sesaat, lalu mereguk minuman, "Gue udah satu bulan pulang, maafin gue sobb" Lanjutnya sambil tersenyum patah.
"What? Satu bulan? Dan baru sekarang loe muncul?" Bukankah biasanya jika dia datang paling hitungan jam di rumahnya, dia akan langsung cabut menemuiku untuk mengantarkan oleh-oleh lengkap dengan sejuta cerita tentang apa saja hal-hal terbaru yang ia temukan di ibukota Jakarta, kali ini bukan saja penampilannya yang beda, tapi kebiasaannya juga ikutan berbalik arah, biasanya seminggu sebelum kepulangannya dia selalu meneleponku untuk bertanya mau dibelikan oleh-oleh apa. Aku masih ingat semester lalu dia membelikanku simcard M2, padahal di kabupatenku belum bisa dipakai, hahaha, jadilah oleh-olehnya hanya jadi koleksi di lemariku, padahal dia mau mengurangi jajannya 150.000 hanya untukku, bisa semakin lancar online. Dia tau sekali hobiku, padahal uang segitu untuk anak kuliahan sudah cukup lumayan. Namanya sahabat tidak pernah berhitung, yang aku juga tau bahagiamu juga bahagiaku begitu juga sebaliknya.
Ada keraguan terpancar di matanya, berkali-kali dihembuskan nafas panjang, "Loe kenapa sebenarnya sob" Tanyaku, yang sedikit banyak bisa merasakan kalut jiwanya.
"Gue ke sini mohon bantuan loe sob" What? Mohon? Tentu saja aku tak bisa menahan tawa.
"Sejak kapan loe segitu pormil bicara sama gw" Tanyaku.
"Gue serius" Jawabnya cepat.
"Oke to the point aja sob, can me help you?"
"Gue butuh uang sementaran, gue belum dapat kerja, gue gak tau kapan bisa mengembalikan, tapi begitu gue udah bisa ngembalikan uang loe, gue pasti bayar, loe percaya gue kan?" Perkataannya semakin terasa aneh di telingaku, sejak kapan dia kekurangan uang? Untuk apa? Dan seribu tanya yang akhirnya aku telan kembali demi melihat keseriusnya.
"Okey gw janji, gw akan bantu loe, jikapun gw gak bisa menuhi permintaan loe sekarang, gadai nama akan gw lakuin untukmu sobat"
"Maksudnya?"
"Ya jika permintaan loe melebihi kantongku, gw akan pinjam ke kakak, abang atau teman lain, tentu dengan menggunakan namaku sendiri sebagai jaminan" Jawabku. "Dengan satu syarat loe ceritain, sebenarnya loe kenapa?" Ia menunduk sebelum gerak bibirnya lantunkan satu ayat yang bukan saja mungkin mencabik hancur rasanya, sekaligus aku yang mendengarnya.
"Ortu gue cerai, bokap kawin lagi dan adik gue ikut bokap, gue ikut mama" Jawabnya setelah sedikit menguasai diri, "Gue mutusin berhenti kuliah, satu bulan mengurung diri, karena gue belum sanggup menjawab pertanyaan teman-teman, gue malu sob"
Kilas balik, saat aku mengenalnya, sosok itu bukan saja tampan dan rupawan tapi juga darmawan, dengan prestasi di bidang olahraga terutama sepakbola, mampu membuatnya diterima tanpa test di sekolah di Ibukota. Anak seorang penguasaha lumayan sukses yang serba berkecukupan tidak membuatnya lantas sombong, dia tetap santun, dan setia kawan tak butuh waktu lama untuk kami saling akrab dan bersahabat setelah perkenalan pertama. Meski berjarak komunikasi tetap jalan via telepon. Pantas, tiap kali aku telepon, HP-nya tidak pernah aktif, SMS juga tanpa balas. HP-nya ikut dia hancurkan bersama hancurnya keluarganya. Tenangkan hatimu Sob, masih ada bapak dan ibuku, abang dan kakakku, "Loe gak pernah sendiri, tegarlah, sabar dan ikhlaslah, kami masih tetap sama, jangan ada ragu" Ujarku mencoba menghiburnya.
Hidup adalah suatu awal menuju kematian
Hidup adalah suatu pergiliran kebahagiaan dan penderitaan
Hidup adalah suatu kegelisahan dan kelegaan
Hidup adalah kebahagian dan penderitaan
Berbahagialan ketika dirimu menderita dengan bersabar
Berbahagialah dirimu ketika memang harus berbahagia dengan bersyukur
Karena hidup adalah kebahagiaan walaupun sebenarnya menderita hancur
Betapa penderitaan menjadi bahagia kala kita meresapi bahwa kita masih bernafas sementara lainnya harus mati dan fana.
Betapa bahagianya hidup jika kita bersyukur atas nikmat yang ada.
Betapa bahagianya hidup jika kita bersabar atas derita yang ada.
Pelajaran dan hikmah selalu ada di sekeling kita, kalau tak ada yang pantas kita sombongkan dan banggakan, karena jika Tuhan ingin, Dia bisa merubah semua dalam sekejap. Ketahuilah, yang akan kita hadapi akan jauh lebih berat dari yang telah kita lalui, agar kita tidak lupa dan lalai saat di puncak puja-puji. Dan kita tidak akan tau apa yang terjadi esok hari, jika di hari ini kita berhenti. Semangatlah untuk bangkit sahabatku, jangan pernah menyerah. Sepahit pahitnya sebuah kenyataan, akan tetap jauh lebih indah dari indahnya sebuah mimpi, tapi bermimpilah untuk menjaga semangatmu, karena dengan adanya mimpi, kita akan berusaha untuk mewujudkannya.
Oleh: Moes Arsyil Ramadhan Afrilla (Profile)
Ungkapan Mutiara
Rabu, 04 Mei 2011
Jika Harus Kugadai Namaku
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar