Suara adzan maghrib menggema, menelusuri setiap pelosok bumi, dengan nada suara yang berbeda-beda, ada nada suaranya seperti terpelintir lelah, ada pula nada suaranya seperti keroncong khas Sunda, dan ada pula nada suaranya seperti adzan Mekkah. Namun satu hal yang pasti yaitu lafaz yang diucapkan sama, mentauhidkan Tuhan, mencintai Rasul, mengajak kebaikan dan bersama-sama meraih kemenangan. Ya Tuhan sungguh indahnya Islam, ah seandainya Islam adalah sosok wanita, mungkin aku hanya bisa terbelalak dengan mata yang hampir lepas dan mulut menganga lebar tanpa henti, kemudian dalam hatiku bergema, subhanallah indahnya wanita ini. Khayalan yang basi menurutku, namun sebagai seorang pemuda, khayalan seperti itu sangat cocok bagiku.
Sorban hijau yang dihiasi dengan corak emas kutautkan di antara leherku, minyak maskulin jelly kuusapkan keseluruh bagian baju, peci yang tergeletak di meja belajar ingin segera digendong di atas kepalaku. Adzan maghrib itu sungguh aduhai mampu menarik hatiku untuk menghampiri mushalla. Ajakan yang tak bisa kuganggu gugat, dan ajakan yang sulit untuk ditolak, apalagi untuk bertemu Sang Maha Cinta, Allah. Kuhempaskan kakiku pelan-pelan, dengan diiringi perasaan yang bahagia. Bismillahi tawakaltu ala Allah, ya Rabb terima kasih masih memberiku kesempatan untuk bisa shalat berjamaah di mushalla mungilku itu dengan dua pasang kaki yang masih kuat tegar, padahal banyak saudara-saudaraku yang seiman harus menggugurkan niatnya untuk memakan jamuan shalat berjamaah dikarenakan kedua kakinya lumpuh dan lepra tak berdaya. Lalu untuk apalagi hidupku ini selain untuk bersyukur kepadaMu.
Langkah demi langkah ketelusuri, kumelihat anak-anak kecil berpakain rapih disertai peci yang lucu berlari-lari menuju mushalla, para ibu-ibu sedang sibuk merapihkan sejadahnya di pelataran mushalla dan memakai meukena yang putih indah, dan pelantun shalawat bershalawat sambil menunggu waktu iqamah datang. Indahnya suasana ini, ini Indonesia Kawan. Dua tahun kutinggalkan Indonesia, dan sekarang kubisa menghirup bau wangi lantai mushalla mungilku lagi di Indonesia dengan tersenyum. Aku benar-benar rindu, dan amat rindu bahkan.
Sesampainya di mushalla dengan suasana yang terang bersinar karena lampu yang menghiasinya, walaupun di luar sana senja mulai memudar berganti dengan kegelapan malam. Aku teringat pepatah orang tua dulu untuk anak-anaknya yang masih kecil, “Nak, jangan keluyuran ketika senja memudar, nanti di makan gandaruwo loh!”. Pepatah yang menakut-nakuti, namun menurutku pepatah itu serat makna, apalagi jika kita maknai agar si anak mau mengaji dan belajar, bahkan jika sampai-sampai mengaji bersama di mushalla atau masjid terdekat.
Benar saja dugaanku, di barisan terdepan tepatnya pojok kanan mushalla kumelihat seorang anak kecil berumur dua tahun sedang duduk khusu. Aku tak melihat jelas siapa dia, maklum aku baru menginjakkan kakiku di mushalla ini lagi. Kumelihat cara duduknya bukan seperti anak kecil seusianya, lebih persisnya seperti orang dewasa yang mengerti betul tentang adab sopan santun di mushalla. Dengan duduk bersila, matanya menerawang ke tembok, jari telunjuknya sedang digigit ke mulutnya, apalagi peci warna birunya miring berat ke sebelah kiri. Namun semua itu tidak membuatku kehilangan rasa takjub, malah aku menyalutkan ini terjadi, bahkan aku merasa heran dengannya, bayangkan anak sekecil itu sudah berlaku seperti orang dewasa yang siap untuk berjamaah shalat maghrib di mushalla mungilku.
Nanda namanya, kuberkenalan dengannya seusai shalat. Ia tampak lugu dan pendiam. Apalagi mungkin aku masih asing di matanya. Kulihat wajahnya syahdu, mata yang bulat, dan bentuk tubuh yang mungil membuatku terkesima dan ingin menciumnya tanda banggaku padanya.
“Nanda ke sini sama siapa sayang?” kubertanya seperti wartawan yang sedang mewawancarai seorang pahlawan yang besar.
“Sama kakak” jawabnya singkat dengan tangan kanannya menunjuk ke arah seorang wanita yang berusia sekitar enam tahun. Wanita itu sedang merapihkan meukenanya yang berwarna kuning dengan hiasan bunga-bunga cantik. Lalu tiba-tiba wanita itu menengok ke arah kami berdua dengan setangkai senyuman khas wanita kecil.
“Nanda!!! Sini deh” wanita kecil itu memanggil adiknya dengan lambaian tangan. Serta merta Nanda langsung berlari-lari kecil ke arah kakak wanitanya itu.
“Nanda salaman dong sama Aa Adi sana, masa diem aja, ga sopan tau” kakaknya berusaha menasehati sang adik. Nanda pun hanya manggut-manggut dengan jari telunjuk yang masih digigitnya. Rupanya kakaknya sudah tau namaku. Lalu kumendekati mereka berdua. Dan Nanda pun dengan sigap mengulurkan tangannya kepadaku, dan mencium tanganku sebagai rasa hormatnya kepadaku sesuai dengan perintah sang kakak. Dan reflek tangan kiriku mengelus kepalanya sebagai tanda bahwa kuamat sayang padanya.
Manda. Ya itulah nama kakaknya. Terpaut empat tahun membuat mereka berbeda kedewasaan. Nanda berumur 2 tahun yang masih menggigit jari telunjuknya. Dan Manda yang selalu berusaha menasehati adiknya itu walaupun menurutku agak sedikit cerewet untuk anak seusianya. Mungkin ini adalah hasil buah karya orang tuanya yang mendidik anak dengan penuh perhatian sehingga memiliki anak yang luar biasa ini.
Seminggu, sebulan, dua bulan dan seterusnya, kuselalu memperhatikan mereka berdua, Nanda dan Manda. Di kala adzan maghrib menggema, maka kedua anak ini dengan langkah kaki yang semangat menderapkan kakinya menuju mushalla. Nanda dengan peci biru yang miring ke kiri khasnya, dan Manda membawa meukena di tangan kanannya serta tangan kirinya menuntun adiknya yang masih imut dan kecil itu.
Bukan hanya itu, kesalutanku bertambah kepada mereka berdua, di saat air liur udara mulai menetes, udara sejuk kedingin-dinginan merasuk pori-pori tubuh, di ufuk timur terlihat guratan mentari siap menongol, sedangkan atapku sekarang masih gelap gulita, hanya ada suara jangkrik dan kodok di sungai samping rumahku yang membahana. Ya di saat shubuh buta, mereka pun sama seperti waktu maghrib, Nanda dan Manda berduyun-duyun ke mushalla untuk melaksanakan shalat shubuh berjamaah. Padahal, sebagian besar anak seumurnya masih menghembuskan nafasnya di ranjang empuk, dengan kipas angin yang masih menyiulkan anginnya, dan lebih parahnya lagi jika orang tuanya pun mendukungnya dengan mengorok seenak mulut. Namun, mereka berdua tidak, membuka matanya lebar-lebar, membasuh wajahnya dengan air wudhu, dan menderapkan kakinya untuk menuju mushalla yang kurang lebih berjarak 50 meter dari rumah kontrakkannya.
Dan hari ini, mentari sedang menyengat, mencubit para kuli yang membanting tulang untuk menafkahi anak-istrinya. Para pelajar pulang sekolah nampak kehausan ingin minum seteguk air atau berendam di hamparan batu es yang sejuk. Setelah kumengimami shalat dzuhur, nampak Nanda hadir, namun kali ini ia tidak bersama kakaknya, Manda. Kudekati dia.
“Nanda, loh ko sendiri? Mana ka manda?” tanyaku sambil tersenyum simpul kepadanya.
“Ka Manda lagi disuruh ibu ngambil air” jawabnya lugu.
“Lah emang Nanda di suruh ke Mushalla ya ama orang tua?”
“Iya, ummi ama abi yang nyuruh”
Subhanallah, di balik anak yang shalih terdapat ibu dan ayah yang hebat pula. Inilah kawan, sebuah kisah nyata yang membuat kita akan tersentuh. Aku pun ingin menangis bangga melihatnya. Atau aku ingin menangis karena malu kepada diriku ini. Ia berumur 2 tahun, sedangkan aku 22 tahun, namun kebaktian dan kecintaannya kepada Tuhan melebihiku. Terima kasih Tuhanku, kau telah mengirim Nanda dan Manda sebagai peringatan untukku agar aku semakin bersyukur dengan menjalankan ibadah-ibadah sunnahMu terutama ibadah-ibadah wajibMu.
Oleh: Adi Nurseha (Profile)
Ungkapan Mutiara
Minggu, 27 Maret 2011
Nanda dan Manda sebagai Peringatan Untukku
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar