Seperti biasa Dido pun lahir kira-kira 24 tahun yang lalu layaknya anak-anak yang lain, tapi satu yang berbeda ketika Dido masuk Sekolah Dasar (SD). Propesi ibunya adalah sebagai ibu rumah tangga sambil mencari sampingan sebagai penjual es dan bapaknya adalah peternak ayam kecil-kecilan.
Setiap kali Dido berangkat sekolah, Dido selalu membawa satu keranjang es dalam termos untuk diletakan di warung sekolahnya. Ketika sekolah usai, Dido pun langsung mengambil termos tersebut sambil menghitung berapa jumlah es yang terjual. Hampir setiap hari ia lakukan.
Setiap hari Dido dibekali uang jajan oleh ibunya 150 rupiah, itu pun terkadang diminta oleh dua kerabatnya. Jadi Dido hanya memegang uang 50 rupiah setiap harinya.
Setelah meranjak kelas 6, Dido mulai merasa malu dan gengsi saat menjual es karena teman-temannya. Tapi melihat adiknya ia pun salut, yang mana setiap hari sebelum berangkat sekolah ia harus mengantarkan termos es ke warung-warung terlebih dahulu.
Setelah lulus SD, Dido ingin sekali masuk pesantren, namanya Perantrern Khusnul Khatimah Kuningan, berhubung persyaratan masuk pesantren tersebut. harus dengan biaya sapi. Ia pun tidak jadi masuk, dikarenakan orang tuanya tidak memiki biaya untuk itu.
Dido akhirnya masuk Sekolah Menengah Pertama (SMP), satu dua tahun berjalan dengan lancar, tapi ketika mulai memasuki kelas 3 terjadi tawuran yang bermula dari sebuah hiburan, lalu terjadi perkelahian hingga mengakibatkan tawuran antar desa.
Setelah kejadian itu, kendaraan tidak lagi masuk ke desa, sehingga Dido dan teman-teman harus berjalan ke sebuah perkampungan lain untuk mendapatkan kendaraan. Dido dan teman-teman harus berjalan pulang-pergi 2 sampai 3 kilo meter setiap harinya. Di samping kendarannya yang jarang ia pun harus siap untuk berdesak-desakan, terkadang bergelantungan, kadang pula di atas kendaraan.
Suatu hari, Dido dan teman-teman menunggu kendaraan yang tak kunjung datang juga, saat itu jam mulai menunjukan pukul 4 sore, cuaca pun mulai gelap bertanda akan turun hujan. akhirnya Dido dan teman-teman memutuskan untuk berjalan kaki memotong jalan dengan menerobos perkampungan, pesawahan, sungai, pemakaman, dan terakhir hutan-hutan kecil.
Setelah melewati Perkampungan cuaca mulai redup, di saat Dido dan teman-teman memasuki pemakaman hujan pun turun, mereka terjebak dalam kondisi rasa takut, kedinginan dan hari yang mulai semakin gelap. Sedangkan mereka harus melewati hutan kecil, sungai dan satu pesawahan lagi.
Singkat cerita, mereka terus berjalan menulusuri pesawahan, sungai-sungai dan yang terakhir harus menembus hutan, entah jam berarapa saat itu, tapi yang pasti kumandang adzan Maghrib sudah berlalu kira-kira setengah jam yang lalu.
Mereka terus berjalan menelusuri semak-semak belukar, dengan rasa kedinginan, gelap dan hujan yang terus menguyur. Dan pada akhirnya mereka pun sampai di rumahnya masing-masing tepat saat adzan Isya dikumandangkan.
Begitu juga dengan Dido, ketika sampai di rumah, ibunya menatap sejenak dan langsung menangis karena melihat anaknya yang basah dan menggigil kedinginan. Tapi dengan begitu dido pun bisa pulang dengan selamat walau harus melewati beberapa rintangan.
[Cr.280311]
Oleh: Didi Suardi (Profile)
Ungkapan Mutiara
Rabu, 30 Maret 2011
Pertualangan Dido (Bagian 1)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
terus berkarya mas didi,,,
BalasHapusdi tunggu dido dido bagian selanjutnya,,,
tunjukan lw karya2 mu pun pantas wat diperhitungkan,,,, he
g klh ma yg lain,,, xixix