Pagi masih berembun basah, saat aku menginjakan kaki di terminal desaku yang asri, kuhirup segarnya udara setelah 16 jam terkurung dalam bus yang kutumpangi, yang selama perjalanan hanya bisa mendengarkan mp3 dari phonecell lewat headphone yang menyumpal telinga kiri dan kananku, selebihnya tentu banyak cerita yang terlalu panjang jika kutulis semuanya, he hehe... Alhamdullah ucapku penuh kelegaan. Akhirnya sampai juga dan aku tergesa-gesa untuk keluar dari bus itu, rasanya ingin terbang, karena keinginanku untuk segera keluar dari sejuta aroma yang membuat kepalaku nyaris pecah berderai. Coba bayangkan, 16 jam duduk manis di bus, walaupun bus yang kutumpangi sudah cukup lumayan fasilitasnya tetapi tetap saja aku terkurung lelah.
Kuseret travelbag sementara pundakku terbebani ransel berat, bukan hanya itu ditambah dua buah dus indomie yang berisi oleh-oleh untuk keluarga dan tetangga, sebagian berisi barang pesanan teman-teman. Sudah jadi kebiasaanku, sebelum pulang bertanya pada semua yang kukenal,b arangkali ada yang bisa kubantu untuk membawakan sesuatu (ada udang di balik bakwan) padahal niatnya saling menguntungkan, namanya juga pedagang pasti segala sesuatu dilakukan untuk bisnis. Hasilnya biasanya lumayan, bisa mengganti biaya transport pulang pergi. Setelah sampai di rumah langsung aku sungkeman dengan ayah, bunda dan abangku, sejurus kemudian langsung menuju kamar mandi, walaupun sebenarnya kusangat rindu berenang si suungai seperti biasanya jikaku berada di kampung, dekat dengan alam, dekat dengan Tuhan.
Waktu tiada pernah berhenti, sore hadir menyapa ramah. Salah satu hiburan di desaku adalah menonton pemuda-pemuda yang rajin bermain bola, kadang sesama anak desa, terkadang juga anak desa tetangga ikut meramaikan, tapi sore ini badanku terlalu remuk untuk ikut bergabung ke lapangan, "ah mungkin kalau sekdar main volly atau badminton aku masih sanggup" gertak hatiku. Oleh-oleh dan pesanan semuanya harus diutamakan, pelanggan or pembeli adalah raja, soal bergabung dalam olahraga masih bisa kutunda esok hari, sore ini aku akan mengantarkan pesanan terlebih dahulu sambil silaturahmi dan menikmati pemandangan desa. Sengaja kutak mengabari sahabatku dan juga sepupuku yang jadi salah satu sahabatku semenjak kecil, jika sahabatku tau tentang kepulanganku maka bisa dipastikan dia akan datang tanpa diundang ke rumahku, dan aku harus merelakan celana, baju dan sepatu atau jaket yang mana saja yang dia mau, ha ha ha. Sepupuku sekaligus sahabatku itu dulu bukan cuma karena sebaya, tapi dari Sekolah Dasar kami juga satu kelas, sehingga baik dan buruknya semua aku tau, begitu juga dia mengetahui semua tentangku.
Ditemani Hesty, keponakan satu-satunya yang paling aku rindu jika pulang, usianya 5 tahun, bawelnya minta ampun, selincah merpati gerakannya, ia ikut menjinjing 2 kantong plastik, ocehan serta kicauannya melenyapkan lelahku, ini itu yang tanya, "Ini anak kalo besar mau jadi apa" celetuk batinku, Alhamdulillah aku senang melihatnya, anak sekecil itu dia sudah bisa berinteraksi, itu bisa kulihat dari setiap kami bertemu dengan teman sebayanya atau yang lebih tua, dia menyapa ramah khas anak-anak, walau sekedar say hallo, seperti "nenek dari mana?" atau "Budi, aku nemani omku yang baru datang, ini mau ngantar barang orang" ujarnya polos. Beberapa pesanan atau amanah tertunaikan, tertinggal 1 rumah lagi, aku menuju rumah salah satu teman, kami pun berjalan kaki saja, keliling kampung, soalnya tidal terlalu jauh. Di sebuah rumah tanpa cat, dua rumah dari rumah temanku, seorang ibu muda duduk santai bersama bayi berusia sekitar 4 bulan, serta 3 orang bocah bermain di pohon rambutan, yang paling besar sekitar umur 7 tahun, yang satunya sebaya Hesty, dan yang satunya lagi sekitar umur 3 tahun, Hesty telah lebih dulu memanggil,
"Bang Imam..." pekiknya sambil berlari tanpa bisa kucegah, dia sudah mulai mendekati pohon rambutan yang rendah itu, ibu muda itu hanya bisa tersenyum melihatnya, dia menyapaku masih seramah dulu, "Kapan datang" sapanya, dia adalah mbak Atika yang masih ada hubungan keluarga dengan bunda, aku duduk di kursi kayu dekat tangga,
"Naik saja dulu" Ujarnya lalu masuk ke dalam, sudah tradisi di kampung, jika ada tamu paling tidak segelas kopi disuguhkn, benar saja, beberapa saat dia telah muncul dengan segelas kopi dalam nampan, aku terpaksa naik dan duduk di depan pintu, tidak sopan rasanya jika masuk sementara suaminya tidak ada pikirku. Basa-basi sejenak, dia mengobrol sambil menyusui anaknya,
"Bang Ray kerja di mana Kak?" tanyaku, menyebut nama suaminya, dia sontak mengangkat wajah, menatap tajam padaku sebelum kudengar jawabnya.
"Sudah tidak ada, meninggal 2 bulan lalu" Ucapnya getir.
"Kamu belum dengar beritanya ya, orang rumah belum cerita?" Tanya baliknya, gelas kopi yang siap kureguk menggantung tertahan di udara, apa aku salah dengar?.
"Dia meninggal sepulang kerja bangunan, tanpa mengeluh sakit apa" Lanjutnya setelah melihat reaksiku yang seakan kurang yakin dengan pendengaranku, kerongkonganku seakan tercekik, aku kenal mbak Atika yang hanya seorang perempuan desa yang tak punya keahliaan apa-apa, hanya lulusan Sekolah Dasar di kampungku, paling yang bisa ia lakukan adalah menyadap karet dan berladang tradisional, selebihnya? aku tak pernah melihat apa-apa yang dikerjakannya.
Pandanganku tertuju pada bayi dalam pangkuannya, lalu beralih ke tiga bocah di halaman,Tuhan bagaimana kau atur takdir ini? aku tau penghasilan penyadap karet biasa, apakah mereka punya kebun sendiri, sementara warisan suaminya? suaminya hanya seorang perantau, kutak tau bibit bebet dan bobotnya, setauku sejak menikah hanya dari pihak keluarga mbak Atika yang membiayai biaya pernikahannya, adakah yang suaminya tinggalkan? mataku menyapu seluruh ruang yang bisa kutembus, tiada sofa dan lemari, rumah juga sepertinya baru di bangun, semuanya masih serba tanggung, segini kejamkah takdir hidup? yang tak pernah terbayang olehku, siapa yang akan bertanggung jawab pada pendidikan, masa depan, dan makanan mereka? ya Allah aku lunglai, rasanya aku ingin segera pulang dan menghilang dari dunia, jangankan dia, aku saja takkan pernah sanggup jika diberi ujian itu. Aku tak berani lagi berucap, selain merogoh kocek hasil bayaran pesanan, yang telah kuhitung di luar kepala, andai saja kutau sebelum kepulanganku, setidaknya 4 baju anak-anak masih bisa kubagi.
"Aku pamit dulu Mbak, sudah hampir maghrib" Ujarku, ia terlihat masih menahan tangis, ketika kuselipkan sekedarnya, tak sanggup aku menatap lama wajah tabahnya..
Desaku yang terlihat damai dan terasa tentram, kini kau memikul beban, kaya bumimu. Ya Rabb, berikanlah pada mereka, walau hanya untuk bisa makan seadanya. Lembayung senja dilangit manja, semburat merahmu aku marah, aku selipkan kata dimana adilMu, kini lukisan kisah pilu dihadapku, di kanvas kelabu kucoretkan, Tuhan kapan kutemukan ketenangan batinku, hanya padaMU kuselipkan harapan, meskipun mungkin hanya itu yang bisa kulakukan, sayap-sayapku takkan mungkin mampu membawa semua terbang.
04:12 pm
19/02/2011
Inspirasi saat pulang mudik lebaran lalu.
Oleh: Muslimin (Profile)
Ungkapan Mutiara
Rabu, 23 Februari 2011
Desaku Menanggung Beban
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar