Pernahkah kalian melamar seseorang? Atau pernahkah merasakan sudah melamar namun akhirnya kandas begitu saja? Ah… Inginku menulis kisah di sini tentang dua hal itu dengan harapan bisa menjadikan pelajaran bagi siapapun yang sempat membacanya terlebih lagi khusus buatku pribadi.
Saat itu 8 tahun silam...
Saat usiaku beranjak 22 tahun tepat satu hari setelah aku merayakan kelulusan S1. Tiba-tiba orang tuaku duduk manis dihadapanku (biasanya tawar siy hehe…) mengatakan “Nak… kami akan menjodohkanmu dengan seorang wanita…bla…bla…bla…”. Lemas lunglai tubuhku saat itu. Hanya satu hal yang kuingat dari perkataan bijak Ayahku.
“Ayah hanya ingin silaturahmi antara Ayah dan Ayah dia tetap terjalin hingga kapanpun”. Ingin rasanya berontak.
“Pliiiiiz dewh…. Masak harus aku yang jadi korban?” Tapi alunan kalimat yang kususun berhenti di tenggorokanku. Sesak.
Hari itu tiba…
Aku mendapat lamaran dari seorang wanita yang selama ini tak pernah kutemui bahkan pada usiaku yang menurutku belum pantas menyandang status tunangan orang. Jangan kaget!!! Adat lamar-melamar di daerahku memang dilakukan oleh wanita, jadi pria kampungku sejatinya hanya berhak menunggu (gak enak banget tho, g bisa milih hahaha…). Prosesi berjalan mulus sesuai dengan konsep yang telah dibuat oleh Ayahku. Tesenyum puas sepertinya keluargaku menyaksikan Ayah tunanganku (berat bangaet aku menyebutnya hehehe…) menyematkan cincin dijari manisku. Dengan memaksakan tersenyum dihadapan calon mertuaku (lagi-lagi aku berat menyebutnya hehehe…) kucium dengan terpaksa tangannya, hatiku berontak “Kenapa ini harus terjadi Tuhan… aku tidak ikhlas menjalaninya Tuhan…”
Pertemuan pertama dengannya…
Prosesi berikutnya acara hantar calon mantu yang diadakan di rumahnya (baca: tunanganku ^_^). Pakaianku rapi karena Ibuku yang mengurus semuanya. Perpaduan kemeja putih dan celan hitam dan sepatu vantofel (persis kayak panitia kegiatan di SMA-ku dulu hehehe) semakin membuatku tampak mengkilap (tapi gak sampek nyaingi cermin kok). Katanya Ibuku “Le (baca : anak lelakiku) hari ini kau akan bertemu dengan tunanganmu, kau harus perhatikan dia baik-baik, kau tidak akan kecewa karena dia sangat cocok denganmu, anggun dan pintar”. Masih dalam kondisi eneg aku tersenyum pada Ibuku. Mudah-mudahan kalimat Ibu terakhir benar adanya (lho kok jadi ngarep juga hahaha…).
Dia tak sempurna Tuhan !!!
Kalimat itulah yang pertama kali keluar dari hatiku pertama kali melihatnya, namun kutahan dalam kerongkongan supaya tak keluar melalui bibirku. Ibuku benar. Dia anggung, bahkan lebih anggun dari yang aku bayangkan tadi. Untuk poin kedua PINTAR. Hmmmm… aku malu mengatakannya. Sungguh. Dia pernah menjuarai olimpiade Matematika mewakili Propinsi di Jakarta. Dia pernah menjuarai debat bahasa Jepang mewakili kabupaten. Dia juga pernah menjadi perwakilan propinsi menyambut tamu dari kedutaan Mesir karena kemahirannya dalam bahasa Arab. Ah… calon istriku (mulai berani sekarang hehehe). Balutan gamis berwarna biru semakin membuatnya anggun. Inikah wanita itu Tuhan?
Dua tahun lalu sepulangnya dari lapangan upacara, saat dia menjadi salah satu deretan yang mengibarkan bendera kebanggaan negri ini. Sebuah truk yang membawa batu bata menghatam motornya dari belakang. Kakinya tertimpa motor yang digunakannya diikuti oleh runtuhan batu yang berhamburan merapat barisan ditubuh semampainya. 2 kakinya diamputasi karena.... (ah…aku tal tega mengatakannya di sini) dan hasilnya dia tidak bisa berjalan dengan sempurna lebih tepatnya dia tak bisa berjalan. Tubuhnya bergantung pada kursi yang memiliki 2 roda itu, namun sekarang lebih canggih ada yang memiliki remote control. Malang sekali kamu calon istriku. ^_~
“Saya tidak menginginkan apa-apa kecuali kesederhanaan” Kalimat itulah yang akhirnya meluluhkanku. Mulanya aku tak paham apa maksud wanita ini (baca : calon istriku…nah lho hahaha) namun perlahan aku mengerti itu. Dia tidak pernah mau diajak kencan layaknya anak muda sekarang. Jika saya (hahaha… ketularan dia dewh) mengajaknya keluar, dia selalu ingin pergi ketempat tertentu, panti asuhan, panti jompo, yayasan pecandu narkoba (horror banget kan…).
Katanya “Maaf jika selalu mengajak Akang kesini (panggilan kesayangannya hehehe)… hanya saja saya ingin melihat kesederhanaan mereka menjalani hidup dengan segala keterbatasan dan kekurangan mereka”. Biasanya saya (tuuuh kan... dia mulai mempengaruhiku) hanya tersenyum saat ucapan rutinnya itu keluar dari bibir manisnya.
Pernah suatu hari…
“Akang… kenapa kau mau dengan saya?” Aku hanya tertegun dengan pertanyaannya yang sungguh akupun tak tau kenapa akhinya aku mau. Seingatku aku mau karena orang tuaku memaksaku untuk mau. Ah…. Namun tal tega jika harus mengatakan ini padamu Dinda.
“Karena kau pintar Dinda… nah kenapa Dinda mau di jodohkan?”
“Hmmm… tak banyak yang bisa saya lakukan sejak kecelakaan itu. berjalanpun saya bergantung pada benda satu ini. Mencuci baju saja saya tidak bisa. Saya hanya ingin belajar dari Akang, bagaimana orang lain menerima saya dengan segala keterbatasan saya”
Tertegun saya mendengar pernyataannya. Sampai kinipun aku masih belum bisa belajar dari keputusan menerima lamaranmu Dinda walau perlahan aku nyaman denganmu. Kadang juga aku selalu nggerutu jika kau mengajakku ke taman panti asuhan dan panti jompo. Malah aku pernah menyesal tidak menolakmu Dinda.
Empat tahun berlalu bersamamu Dinda
Selamat jalan Dinda… semua orang menyayangimu termasuk saya yang perlahan mengerti kesederhanaanmu menjalani hidup tanpa kaki beberepa tahun ini. Bahkan belum sempat saya mengatakannya bahwa saya mencintaimu Dinda dan bahwa saya sangat mencintaimu, kau pergi begitu saja tanpa pesan apapun kecuali tulisan indahmu untuk saya.
25 Desember 2010
Saat saya tak bisa lagi berjalan
Saya hanya memintaMu memberikan kesabaran
Namun Kau memberiku lebih dari itu
Kau hadirkan Akang untuk saya
Kau juga hadirkan keluarga Akang yang sangat mencintai saya
Bahkan…
Kau juga memberikan kekuatan lebih pada Akang untuk menerima saya
Sehingga sayapun juga tak punya pilihan
Kecuali juga berusaha lebih kuat dari biasanya
Rabb...
Kelak jika memang Akang tak bisa bersama saya
Berikan dia wanita yang lebih layak dari saya
Amin.....
Kesederhanaanku Mencintamu Akang
Dinda
30 Desember 2010
Dinda meninggalkan kami untuk selamanya. Senyumnya sangat khas. Tanpa mengeluh sakit apapun dia pergi begitu saja. Dia menutupkan mata dalam pangkuan Ibunda tercintanya setelah shalat dhuha. Selain kakinya yang diamputasi, dinda juga mengalami gagar otak. Menurut dokter bisa jadi gagar otaknya yang menjadi penyebab meninggalnya Dinda. Namun terlepas dari apapun penyebabnya, kami semua sepakat bahwa Dinda pergi karena Tuhan menyayanginya lebih.
Benar katamu Dinda saat pertama kali kita bertemu “Saya tidak menginginkan apa-apa kecuali kesederhanaan”. Andai saja waktu itu saya menolak perjodohan kita, mungkin saya tidak akan sesederhana ini mencintai seseorang. Andai saja bukan kamu yang menjadi calon istriku, bisa saja saya memperlakukannya bak wanita sempurna, membelikannya baju, membelikannya boneka, mengajaknya jalan-jalan, dan lain-lainnya. Andai saja bukan kamu yang menjadi calon istiku, bisa jadi orang tuaku tidak meridhainya karena pilihan mereka benar-benar tepat. Ah Dinda… wanita cacatku yang akhirnya meninggalkanku dengan sederhana untuk selamanya.
Nb: Terinspirasi dari sebuah lagu musisi Almarhum Chrisye yang berjudul Lilin-lilin Kecil (jika penasaran silahkan dengarkan langsung lagunya). Kesimpulan dari tulisan ini adalah silahkan interpretasikan secara subjektif hehe ^_^
Oleh: Luluk Evi Syukur (Profile)
Ungkapan Mutiara
Kamis, 24 Februari 2011
Sederhanamu, Subhanallah
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar