“Semoga tidak ada yang menghina keluarga Deva lagi, tidak ada yang mencaci keluarga Deva lagi, dan Keluarga Deva bisa hidup bersama lebih baik lagi di sini” Buaian air mata menetes di mata Deva satu persatu. Air itu menggelinding bagaikan ban mobil yang sedang berjalan secepat kilat di pipinya yang mulai diisi oleh lemak. Air mata itu tak memperdulikan Deva, betapa Deva butuh kekuatan batin yang kuat untuk dapat mengeluarkannya. Tangan deva pun ikut bergetar tak karuan, seperti tersengat listrik tegangan rendah. Wajahnya tertunduk beku sambil terisak-isak. Sesekali ia mengibaskan tangannya di pipi yang gemuk itu untuk melabrak aliran air mata yang kian deras dengan diikuti cairan yang keluar dari hidungnya.
Deva, seorang teman, atau bahkan sahabatku sejak kecil. Ia sudah kuanggap bukan sebagai orang lain, tapi bagian dari keluargaku. Banyak kisah indah dan pahit yang kujalani bersama dengan dirinya. Dengan saling memahami dan saling membantu, kami bersahabat dengan rukun serta damai. Perkenalanku dengan Deva pertama kali di saat kami bertemu di sebuah pengajian Quran. Di pengajian Quran itulah perjalanan dan cerita kami dimulai. Ah… jika kuceritakan perjalanan menarik bersama Deva satu persatu tak cukup waktu untuk membuatnya, namun satu hal yang pasti, aku sangat kagum padanya.
Aku teringat ketika aku dan deva saling bahu membahu mencari dana untuk penyelenggaraan Maulid Nabi Besar Muhammad Saw. di pengajian Quran kami. Dengan peluh keringat yang bercucuran kami berjalan bersama teman-teman yang lain. Dari satu rumah ke rumah yang lainnya. Dan deva lah yang paling vokal untuk urusan yang satu ini. Dia selalu berada yang terdepan di antara kami, dengan secarcik map berwarna biru tua yang berisikan proposal permohonan dana berada di tangannya. Keahlian bahasa yang digunakan serta senyuman lembut membuat orang yang diajak berbicara tak bisa mengelak, dan pasti langsung merogoh kantongnya untuk memberikan sumbangan seikhlasnya. Oleh karena itu meriahnya acara Maulid di pengajian Quran kami tak lepas dari jerih payahnya. Makasih sahabatku.
Belum lagi sebuah peristiwa yang menohok hatiku sehingga sedih. Peristiwa itu amat kukenang. Sebuah peristiwa yang membuatku hanya bisa berkata “Sabar dan Sabar”. Kala itu, mendung mengintip dari balik awan, angin sepoi-sepoi bagaikan AC yang menawan, mobil lalu lalang dengan suara klakson yang tak pernah lelah. Aku yang baru saja keluar dari Masjid setelah selesai shalat Jum’at terheran-heran dengan kumpulan orang-orang di depan rumah Deva, aku yang melihatnya langsung berjalan dengan tergesa-gesa. Sandal jepit merek swalow pun setia membentengi telapak kakiku dari tajamnya jalan, terseret-seret aku membawanya, dengan berjuta pikiran yang menyelimuti otak sebenarnya apa yang terjadi di depan rumah Deva. Sekali-kali kupercepat dengan lari dengan rasa penasaran yang semakin menggila.
Ketika kuberhasil menerobos kerumunan warga, dan kuberdiri paling depan, kukaget setengah mati ketika Deva duduk sambil terisak-isak, tangannya menutupi wajahnya yang penuh dengan air mata. Lalu kududuk di sampingnya,
“Dev, kenapa kau menangis?” dengan suara lirih setengah berbisik di kuping kanannya, sambil tangan kiriku merangkul pundaknya. Namun, tak ada satu kata pun yang keluar dari mulutnya, ia hanya menangis dan menangis saja. Lalu kuangkat wajahku, dan melihat di sekitarku, aku tertegun ketika melihat kondisi rumah Deva yang hangus legam. Barang dagangan ibunya pun ludes. Api yang menjadi penyebabnya, yang mengakibatkan Deva menangis. Dan aku pun hanya bisa menepuk pundaknya sambil berkata “Sabar Kawan, kita punya Allah yang Maha Pemurah dan Maha Penyayang”
Dan sekarang Deva yang sudah memiliki istri dan satu anak ia menangis tersedu-sedan lagi. Nampak sekali beban kehidupan berjuta-juta ton dipundaknya. Dengan tangisannya seakan menggambarkan betapa berat kehidupannya sekarang ini yang berliku dan berduri. Aku hanya terdiam membisu ketika ia memberi sambutan pindahan rumah sambil terisak tangis. Aku menatapnya tanpa bosan. Seluruh sanak keluarga yang hadir dalam pindahan rumahnya pun terperangah ketika melihat ia menangis penuh beban.
“Deva dan keluarga deva ga mau ngerepotin saudara-saudara deva lagi, deva ga mau jadi beban buat semuanya, deva ingin hidup mandiri sekarang” Kembali pekikan kata sambutan itu disertai dengan mata yang berkaca-kaca.
“Doain Deva ya” kata itulah yang keluar dari mulut Deva yang terakhir. Sekarang ia memiliki rumah yang baru, bersama istri, anak, ibu dan adiknya, ia akan tinggal di sebuah perumahan di kawasan Sukatani. Ia akan menjalani kehidupan dan suasana baru yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Bayangkan mungkin sudah hampir 24 tahun ia tinggal di Cikarang, jadi butuh waktu untuk bisa berinteraksi dengan kehidupan barunya di sana saat ini.
Aku yang berada di sampingnya hanya bisa menepuk pundaknya tiga kali. “Sabar Kawan, kita punya Allah yang Maha Pemurah dan Maha Penyayang”. Hanya kata itulah yang bisa kuucapkan dengannya berkali-kali ketika sahabatku sedih dan menangis. Kata yang mungkin kedengarannya sederhana, namun kuberharap kata itu bisa menenangkan batinnya yang penuh gundah dan gulana seperti perkataanku ketika rumahnya dilalap api 14 tahun yang lalu.
“Selamat menempuh kehidupan baru di rumah yang baru Kawan, aku hanya bisa berdoa untuk kebahagiaanmu dan semua keluargamu.”
Setelah semua selesai, memindahkan barang-barang, berdoa bersama dan juga perasmanan, aku pun pamit pulang.
27 Februari 2011
Oleh Adi Nurseha (Profile)
Ungkapan Mutiara
Sabtu, 26 Februari 2011
Sabar Kawan, Kita Punya Allah
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar