Tragedi di Pandeglang Banten dan juga di Temanggung Jawa Tengah memiriskan hati. Irisan itu terasa sekali seakan teriris dengan mata pisau yang puntul atau tidak tajam, sehingga setiap gesekan yang terjadi amat memilukan dan setiap yang tak setuju dengan itu akan menjerit sejadi-jadinya. Mungkin, kita yang sebagian besar hanya menonton di televisi terbelalak dan tercengang melihat kebrutalan manusia yang melebihi hewan dengan perusakan, pembakaran dan penghancuran.
Entah apa yang terjadi, jika manusia tidak memiliki akal pikiran, ah mungkin manusia akan menjadi makhluk yang mengerikan melebihi ikan Piranha yang hidup di Amazon sana, yang mampu memakan mangsanya dengan penuh kebrutalan dan kesadisan. Kurang lebih seperti itulah apa yang terjadi di Pandeglang dan Temanggung yang berbau SARA. Apalagi toleransi sudah didengungkan sejak lama, sejak isu kemerdekaan dihembuskan, hingga sekarang, namun apa yang terjadi sekarang ini, seakan-akan lemparan batu, amuk amarah, dan pembakaran mereka adalah hal yang wajar, padahal sudah mencacatkan toleransi beragama yang sudah dibangun berpuluh-puluh tahun yang lalu di Indonesia tercinta ini.
Tulisan ini tak mau mengusik sebab dan asal muasalnya terjadi kekerasan tersebut, penulis akan mengesampingkan penyebab mereka melakukan hal tersebut tetapi penulis hendak mengupas bagaimana cara mereka beramar maruf nahi munkar. Mungkin sebagian orang dari mereka akan berkata, “Lihat dahalu sebab-sebabnya donk, kami melakukan demikian karena mereka sudah melewati batas kewajaran”. Ah, itu hanya dalih dan bukan dalil. Mungkin jika dalih semacam itu sudah menjadi pegangan semua pemeluk agama, maka sudah pasti kekerasan, kerusuhan, dan kehancuran sudah menjadi hal yang lumrah di dunia ini dan bahkan kehidupan ini akan berubah menjadi mencekam.
Saya bertanya kepada sang membuat keonaran atas nama amar ma’ruf nahi munkar itu, apakah Islam mengajarkan demikian, kekerasan, kerusakan dan kerusuhan? Apakah dalam berdakwah harus melempar batu, membakar barang-barang, merusak fasilitas? Apakah tak ada cara yang lain yang lebih bijak untuk melakukan ibadah amar ma’ruf nahi munkar? Atau kalian akan menjawab, “Karena pemerintah lamban untuk bertindak!”, lalu saya akan bertanya lagi jika demikian, apakah sah kalian membabi buta seperti itu walaupun pemerintah lamban? Apakah boleh jika orang lain tersakiti dengan perbuatan ibadah anda? Saya kira, orang awam pun tau bahwa melakukan ibadah harus lah menyenangkan hati orang lain, bukan membuat orang lain miris. Rasa-rasanya, mereka melakukan demikian karena ingin melakukan kekerasan dengan kedok agama.
Ingat! Islam adalah agama yang lembut, agama yang berbudi pekerti, agama yang santun dan agama yang bijak. Islam tidak mengajarkan kekerasan walaupun ayat jihad tersebar luas di al-Quran, karena makna jihad pada zaman sekarang sudah mengalami pergeseran makna, jadi jihad sekarang tidak harus mengangkat pedang atau mengantar nyawa, namun jihad sekarang lebih luas lagi yakni segala sesuatu yang dilakukan untuk kepentingan kebaikan dan keindahan islam, itu semua adalah jihad. Islam tidak mengajarkan keonaran walaupun maksiat merajalela. Dan Islam pun tidak mengajarkan menyakiti hati orang lain walaupun orang lain tersebut berbeda keyakinan dengan kita.
Rasulullah Saw. bersabda dalam sabdanya:
"Barangsiapa di antara kalian melihat kemungkaran, hendaklah dia merubahnya dengan tangannya. Apabila tidak mampu, hendaklah dia merubah hal itu dengan lisannya. Apabila tidak mampu lagi, hendaknya dia ingkari dengan hatinya dan inilah selemah-lemah iman." (HR. Muslim no. 49)
Sabda Rasul di atas, menunjukkan tingkatan beramar maruf nahi munkar. Jika kita bisa dengan tangan maka lakukanlah dengan tangan, jika kita hanya bisa dengan lidah atau kata-kata maka lakukanlah dengan lisan, bahkan jika kita hanya bisa dengan hati saja lakukanlah dengan hati. Namun ingat, amar maruf nahi munkar dengan tangan bukan untuk semua orang. Tetapi untuk orang yang mempunyai kekuasaan, mempunyai wewenang, mempunyai hukum, dan mempunyai jabatan di masyarakat. Misalnya presiden, beliau berhak menghukum dengan tangan atau penjara jika ada masyarakatnya yang melanggar hukum. Contoh yang lebih simplenya lagi dalam kehidupan rumah tangga, yang memiliki kekuasaan adalah ayah, jadi ayah berhak menghukum dengan tangannya kepada anaknya sendiri jika bersalah, jadi jangan seorang kakak yang menghukumnya bisa-bisa sang adik marah dengan kakaknya, malah bukan menyadarkan sang adik tetapi akan menjadi beringas dan timbul pertengkaran serta perkelahian.
Begitu pun yang terjadi di Pandeglang Banten maupun di Temanggung Jawa Tengah, seharusnya yang bertindak demikian itu pemerintah yang memiliki kekuatan hukum dengan dikomandai oleh polisi. Yang menyegel tempat-tempat yang meresahkan warga dan juga mengamankannya. Bukan para kelompok tertentu yang tak memiliki wewenang dan kekuasaan. Malah, jika kelompok tertentu atau masyarakat yang bertindak seakan-akan penguasa maka yang terjadi bukan memberi efek baik akan tetapi akan menjadi efek buruk yakni balas dendam dan juga krisis toleransi antar umat beragama. Yang lebih parahnya lagi jika hal itu dibiarkan maka Indonesia akan memiliki hukum baru, yakni Hukum Rimba, siapa yang lebih kuat dialah penguasanya.
Seharusnya mereka mengaca seperti zaman para sahabat, ketika masa kekhalifahan Abu Bakar Ash-Shidiq, pada suatu saat di zaman itu, banyak orang yang tidak memberikan zakat. Maka penguasa saat itu memerintahkan untuk memerangi orang-orang yang enggan memberi zakat karena zakat adalah ibadah yang wajib tidak bisa ditawar menawar. Jadi, pada zaman itu bukan sekelompok masyarakat yang mengadili orang-orang yang tak mau membayar zakat tersebut tetapi langsung pemerintahannya yang bertindak. Lalu bagaimana jika pemerintahnya tidak mau bertindak, maka adili pemerintah dengan keritikan yang santun, pembaharuan atau pun reformasi yang bijak, karena bersikap demikian adalah penting sebab lebih baik dipimpin oleh orang non-Muslim yang adil daripada dipimpin oleh orang Muslim namun tidak adil atau lebih baik lagi jika dipimpin oleh orang yang Muslim namun ia bersikap adil dan bijaksana.
Begitu pun dengan lisan, amar maruf nahi munkar dengan lisan ini ditujukan bagi orang yang memiliki hak untuk berbicara. Hak berbicara ini penting. Ada orang yang diberikan hak untuk berbicara dan ada pula yang tidak diberikan hak untuk berbicara. Orang yang diberikan hak untuk bicara biasanya mereka orang yang berilmu atau para ulama. Mereka hanya bisa beramar maruf nahi munkar sebatas dengan lisan, bukan dengan tangan. Bahkan Nabi Muhammad Saw. pun berdakwah hanya menyampaikan bukan untuk merubah, karena yang bisa merubah hak penuh milik Allah bukan Para Nabi maupun Rasul apalagi kita sebagai seorang yang awam, dan Allah yang menghendaki siapa yang diberi petunjuk dan siapa yang tidak.
“Sesungguhnya kamu tidak dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya (QS. Al-Qishashash: 56)
Jadi, untuk apa tangan kita dikotori dengan menyakiti orang lain dan lidah kita memaki dan menghina orang lain yang berbeda keyakinan dengan kita jikalau petunjuk itu di tangan Allah. Seharusnya kita bersikap santun dan lemah lembut dalam berdakwah dan berbuat baik kepada mereka, seperti apa yang ditunjukkan oleh Nabi Muhammad melalui uswatun hasanahnya. Ketika itu Nabi Muhammad sering diludahi oleh orang kafir ketika Nabi hendak menuju masjid. Hampir setiap hari Nabi selalu diludahi, tetapi Nabi selalu bersabar dan bersabar, Nabi tidak pernah membalasnya. Malah, suatu ketika Nabi terheran-heran, kenapa orang yang sering meludahi Nabi kali ini tidak ada. Nabi merasa ada yang aneh. Lalu nabi pun menanyakan kepada tetangga orang yang sering meludahi itu. Tetangga itu menjawab orang yang sering meludahi Nabi ternyata sedang terbaring sakit di rumahnya. Lalu sejurus kemudian Nabi langsung menjenguknya, dan bahkan Nabi lah orang yang pertama kali yang menjenguknya ketika ia sakit. Sehingga orang yang meludahi Nabi pun berkata “Sungguh mulianya akhlak engkau”, dan seketika itu pula ia masuk islam dengan indahnya.
Pernah juga Rasul memberikan contoh bagaimana bertoleransi kepada non-Muslim, pada suatu saat di tengah-tengah perjalanan Rasul dan Sahabat-Sahabatnya berpapasan dengan keranda mayat orang Yahudi yang sedang digotong menuju pemakaman. Kemudian Nabi berhenti dan menghormati mayit orang Yahudi tersebut. Sertamerta membuat para Sahabat heran dan langsung bertanya, “Wahai Nabi, kenapa engkau menghormati mayat itu, padahal mayat itu adalah orang Yahudi”, lalu Nabi menjawab dengan santainya, “Dia juga manusia kan”. Subhanallah akhlak Nabi sebegitunya hebat dan mulianya, tetapi kenapa ada sebagian kelompok orang yang belum mengerti cara bertoleransi terhadap agama lain. Atau mungkin mereka belum tau, entahlah.
Subhanallah itulah pelajaran bagi seorang pendakwah. Seorang pendakwah haruslah memiliki sikap dan sifat yang lemah lembut dan sopan. Bukan beringas seperti yang ditunjukkan sebagian kelompok tertentu yang lebih mengandalkan fisik ketimbang kesopanan dan kenyamanan. Menurut penulis, perbuatan demikian bukan lah malah akan menyentuh orang yang sedang ia dakwahi, tetapi mereka akan semakin menjadi-jadi.
“Tidak ada paksaan untuk (memeluk) agama islam, sesungguhnya telah jelas jalan yan benar daripada jalan yang salah (QS. Al-Baqarah: 256)
“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.” (QS. Al An’am: 108)
Dari, dua ayat di atas sudah jelas bahwa bagaimana kita cara berdakwah, pertama tidak ada ada unsur paksaan, dan yang kedua jangan sekali-kali kita melakukan penghinaan terhadap tuhan-tuhan mereka, apalagi hingga perusakan, perusuhan, dan juga menghancurkan, perbuatan itu sudah melebih kapasitas yang seharusnya. Mencaci saja tidak boleh apalagi sampai-sampai membunuh mereka.
Kemudian, cara amar maruf nahi mungkar tingkatan terakhir adalah dengan hati. Jika kita tak memiliki kekuasaan dengan tangan dan tak memiliki hak untuk berkata, maka cukuplah dengan hati atau doa. Dengan hati kita mengingkari perbuatan tersebut dan sangat tidak setuju dengan perbuatan tersebut sambil berdoa agar mereka diberi petunjuk oleh Allah Swt.. Biasanya tingkatan ini dimiliki oleh kebanyakan orang, dan ini juga merupakan perbuatan ibadah yakni beramar maruf nahi munkar dan ketiga golongan ini (Beramar maruf nahi munkar dengan tangan, lisan, dan hati) termasuk ke dalam umat yang baik, seperti apa yang digambarkan dalam firman Allah.
"Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf (kebaikan), dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah." (QS. Ali Imron: 110)
Begitulah yang harus dilakukan. Jangan sampai kita beramar maruf nahi munkar tanpa ilmu bagaimana beramar maruf nahi mungkar yang baik dan santun. Bahkan Nabi pun sangat menghotmati pemeluk agama lain. Jadi sudah seharusnya jika kita pengikut Nabi dan para sahabatnya maka kita pun harus melakukan apa yang dilakukan oleh Nabi dan para sahabat-sahabatnya tersebut. Oleh karena itu jadilah orang Islam secara kaffah dan memahami Islam secara komprehensif tidak setengah-setengah apalagi jika Islam hanya menjadi kedok semata, naudzubillah tsumma naudzubillahi min dzalik.
Oleh: Adi Nurseha
Ungkapan Mutiara
Rabu, 16 Februari 2011
Krisis Toleransi yang Membabi Buta di Indonesia
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar